Langsung ke konten utama

[CERPEN] -- Winter in Universe








A short story by Fujama, based on EXO's song Universe. Happy reading.





#Tokyo, January 2010

Tokyo masih seperti biasa, sedikit manusianya banyak kesibukannya. Kehidupan yang teratur, bersih, terawat dan sudah biasa jika apapun dan di manapun terlihat sendiri. Mulai dari keberangkatanku menuju hingga akhirnya sampai di Tokyo, Aku sendirian dan Aku nyaman. Ini kali pertama sejak bertahun-tahun lamanya Aku harus meninggalkan Tokyo karena Aku harus menjalani proses penyembuhan total. Aku sedang sakit, bukan tubuhku, tapi jiwaku. Aku melupakan sesuatu hingga akhirnya Aku harus melanjutkan hidup dengan kepingan ingatan. Di usiaku yang menginjak angka 20, aku memutuskan untuk mencoba mengingatnya kembali.

Shitsurei desuga, o kuni wa doko desu ka?” (Maaf, kalau boleh tahu, Kau berasal dari negara mana?)

Dari sisi kanan jendela mobil Aku langsung menoleh ke arah depan, supir taksi yang kupesan begitu tiba di bandara menunggu jawabanku dengan melihatiku melalui kaca mobil.

“Watashi wa Nippon jin desu.” (Aku orang Jepang)

Supir itu tersenyum mendengar jawabanku begitu juga Aku. Kakak lelakiku bilang, tidak akan ada yang percaya jika Aku mengatakan bahwa Aku orang Jepang, apa karena Aku berdarah campuran?

“Apa orangtuamu ada yang berasal dari Eropa?”

Aku tidak tahu.

Aku menggelengkan kepalaku tanpa menjawabnya, lalu fokusku terbagi lagi menuju sisi jalanan, mengingat kembali apa yang terlupakan.

“Nona, sudah sampai.”

Supir taksi itu dengan baiknya membantuku menurunkan 2 koper dari bagasi belakang mobilnya. Sementara Aku memperhatikan sebuah rumah kayu yang mungkin dulunya adalah rumahku. Perasaan itu datang begitu saja, perasaan rindu.

“Ini kopermu. Mau Aku bawakan sampai dalam?” tanya supir taksi itu sambil menggosok kedua telapak tangannya. Aku lupa cuaca di Tokyo saat ini mencapat 5o C.

“Aku sendiri saja, terima kasih banyak.”

Aku membungkuk lalu melambaikan tanganku hingga taksi itu hilang dari pandanganku. Melangkah perlahan memasuki rumah yang asing namun terasa akrab bagiku.

“Hatara-chan! Ohisasiburi desu!”(Hatara! Sudah lama tidak bertemu!)

Seorang wanita paruh baya memelukku begitu Aku menekan pintu bel rumah, ini mengejutkan, tapi Aku senang. Perempuan paruh baya itu juga melihatiku dan memperhatikan wajahku seteliti mungkin, bibirnya tersenyum tetapi matanya menangis.

“Anata wa donata desu ka?”(Anda siapa?)

Perempuan itu masih tersenyum dan malah menyeret kedua koperku masuk lalu menyuruhku duduk di dalam.

“Aku Hirota, teman Ibumu. Dia sedang pergi, jadi selama Kau di sini Aku yang akan merawatmu.”

Aku mengangguk dan tersenyum begitu Dia mengatakan bahwa Ia adalah teman Ibuku. Aku akan panggil Dia Oba-san  (Bibi).

“Sudah makan? Aku sudah masak beberapa makanan kesukaanmu sebelum Kau tiba,” ucap Hirota Oba-san  lalu bangkit menuju ruang makan.

Aku melangkah maju melewati Hirota Oba-san  dan mendapati banyak sekali makanan yang kelihatannya enak.

“Ini makanan kesukaanku?” tanyaku sambil menunjuk semua makanan yang ada di meja.
“Mungkin Kau lupa, tapi Aku memasaknya sesuai dengan resep Ibumu.”

Foto perempuan cantik di ruang tamu tadi mungkin foto Ibuku, Aku tidak sabar bertemu dengannya.

“Aku akan pulang sebentar lagi, makanlah dengan lahap,” ucap Hirota Oba-san . “Aku akan kembali lagi malam nanti,” lanjutnya.
“Ibuku...”
“Ibumu juga menitipkan sesuatu, Aku letakkan di ruang tamu.”

Wajah Hirota Oba-san  terlihat tidak tenang dan itu sedikit membuatku merasa bersalah karena tidak berhasil mengingatnya.

“Maafkan Aku tidak bisa mengingatmu,” ucapku.

Hirota Oba-san  tersenyum sambil mengusap rambutku. “Tidak masalah, luka yang dihadapi tiap orang berbeda-beda,” ucapnya yang membuatku tersenyum juga.

“Oba-san, Haha wa doko desu ka?” (Bibi, Ibuku di mana?)

Pertanyaanku hanya itu, tapi wajah Hirota Oba-san  seketika berubah. Aku bahkan bisa melihat Ia hendak menangis.

“Ibumu tidak kemana-mana, Dia hanya kesakitan selama ini. Tapi tenanglah, Dia tidak sakit lagi,” jawabnya.

“Kapan Aku bisa melihatnya?”

“Kapan saja.”

~~~

#Tokyo,  January 2019

Rumah itu masih sama, masih sering Aku kunjungi setiap kali Aku menginjak tanah Tokyo. Hanya ada satu tambahan, meja kecil di depan televisi. Meja kecil yang selalu Aku isi dengan sepasang peralatan makan.

Aku sudah duduk menghadap meja yang sudah kuisi dengan berbagai makanan sesuai dengan resep Ibuku, semuanya adalah kesukaanku.

“Nyalakan radio atau dengarkan musik saat makan, itu membantumu untuk makan dengan lahap.”
Ah,  Aku lupa.

Aku mengambil ponselku dan memutar lagu secara acak, lalu kembali duduk dan tersenyum.

“Pastikan makanannya tidak keasinan.”

Sudah pas.

“Ibu masakanku enak.”

I don’t think I can forget you
When the wind gets cold
The night our breaths touched
With smoke coming out of our mouths
We warmly held each other
With happy laughter
Nights we dreamed of a tomorrow
That will shine like the stars

Universe, lagu itu bersenandung begitu saja dari ponselku, Aku mengeluarkan DVD yang tadi kutonton dengan DVD yang baru. Menunggu itu tayang, Aku masukkan sesuap makanan ke dalam mulutku dengan tangan yang bergetar.

Laughter and tears, scars and healing
Questions and answers, they’re all in you
You have my world, you’re my small universe
The moment it vanishes, I will disappear as well

Aku ingin mengganti lagunya, tapi Aku tidak sanggup.

“Kudo Hatara, anak perempuanku yang cantik, ini Aku Ibumu. Saat aku merekam ini, usiamu masih 5 tahun, tapi Ibu mungkin sudah tidak bersamamu kalau Kau sudah melihat video ini. Ibu tidak pergi kemanapun, Ibu hanya berpindah ke semesta yang lain,”

Sudah bertahun-tahun Aku menonton video peninggalan Ibu, tapi Aku masih tidak bisa untuk tidak menjatuhkan air mata di makananku sendiri.

“Hatara, semesta kecilku. Semesta yang harusnya kulindungi malah berbalik melindungiku. Kau tahu kan Ibu sakit parah? Kau juga tahu kalau Ibu tidak bisa menemanimu sampai Kau menginjak bangku sekolah, tapi Ibu pastikan akan melihat semuanya dari semesta yang lain. Ibu mungkin ada di semesta yang lain, tapi Ibu tidak lupa dengan semesta yang sudah Ibu ciptakan,  Anakku yang menyukai musik, pemandangan, dan Ibunya.”

Memories always bring tears
Where it was all washed away baby
Only you remain

 “Ibu.... Ibu...”

Aku menutup wajahku dengan telapak tangan kiriku, menutupi diriku yang menangis.

“Jangan menangis kalau sedang merindukan Ibu. Kalau Kau menangis, Aku hanya bisa melihatnya tanpa bisa mengusap air matamu.”

Aku masih saja menutupi wajahku, Aku hanya menangis tanpa bersuara. Itu menyiksaku, tapi lebih menyiksa jika Ibuku tahu.

“Besok Ibu akan menepati janji Ibu, kita jalan-jalan ke kebun binatang. Kondisi Ibu sudah sangat kritis, tapi jika mengingatmu Ibu merasa sudah sehat dan tidak perlu lagi menjalani kemoterapi dan segala hal medis itu. Ibu pastikan anak Ibu nanti bersenang-senang di kebun binatang, Ibu akan pinjam mobil Hirota Oba-san .”

“Ibu.... maafkan Aku.....”

Aku memukul-mukul dadaku rasanya sakit sekali di dalam sana. Seandainya waktu itu Aku tidak memohon pergi, mungkin Ibu masih bisa berjuang untuk hidup.

I’ll search the universe
Until I can find you again
I won’t let go, even the smallest memories
Memories engraved in the seasons
They come back
So I will find you
Because that’s love

“Apapun yang terjadi, Kau tetap Kudo Hatara, anakku yang cantik dan Aku tetap Ibumu yang selalu merindukanmu.”

Kedua tanganku kini menutup wajahku, Aku menangis dan menyesal, keinginanku membuat Aku merasakan sakit di jiwaku, hidup dengan kepingan ingatan, dan membuat Ibuku pergi.

Aku sudah ingat semuanya. Mobil itu rusak parah, Ibuku memelukku, Aku menangis, lalu Aku melupakannya.

~the end~


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Movie Review : [Exhuma : Menggali Dendam Kelam Sejarah Negara ]

Pertama-tama setelah menonton Exhuma, yang ingin saya ucapkan adalah Kim Goeun di layar bioskop lebih cakep daripada di layar ponsel. Kayak bingung aja gitu mau kagum sama visual atau akting dia yang sama-sama gong banget itu. Baiklah, review ini akan saya mulai dengan bismillah. Exhuma bukan sekedar film horror yang menjual jumpscare ala-ala gitu, tetap ada sisi mengejutkan yang yah cukup bisa membuat duduk para penonton menjadi gelisah. Jujur, waktu nonton ini ada perasaan gelisah yang lebih ke greget untuk fast forward ke scene berikutnya. Jika dibandingkan dengan The Wailing (2016), Exhuma masih jauh lebih mudah untuk dimengerti jalan ceritanya. Siapa yang pernah kepikiran untuk jadiin film horror berbasis sejarah Negara? Untuk mengerti alur cerita film ini, setidaknya kita harus paham dulu mengenai sejarah kelam Korea dengan Jepang.   Dari awal film dimulai, semua scene masih terasa biasa saja, tidak banyak jumpscare namun setiap scene-nya berhasil menyampaikan bahwa ‘ini lo

MOVIE REVIEW - JOHN WICK : CHAPTER 4

                                            JOHN WICK : CHAPTER 4 “Aksi Laga Indah, Persembahan Terakhir (?) Jonathan Wick”               Rasanya penantian saya menanti John Wick : Chapter 4 ini sangat terbayar tuntas. Selama 2 jam 49 menit, saya disuguhi aksi laga menakjubkan dengan latar belakang sinematografi yang sangat indah. Seperti melihat parade atau pameran sinematografi, sehingga sangat disarankan untuk ditonton langsung di layar bioskop untuk hasil yang memuaskan.             Jika saja John Wick ini adalah sebuah teks soal ujian, maka pertanyaan yang muncul adalah ‘Berapa sisa nyawa John Wick?’             Sudah lama menunggu sampai ditunda masa penayangan, Saya sama sekali tidak menonton trailer John Wick : Chapter 4. Demi tidak menaikkan atau menurunkan ekspetasi saya saat menontonnya nanti. Ternyata hasilnya ‘wow’ ‘wow’ ‘wow’ sepanjang film. Saya terpukau sepanjang film dengan aksi laga, cerita hingga ke akting para pemainnya.             Saya tahu bahwa Donni

Hati-Hati di Jalan

             a short story inspired by Tulus' song.                  Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya. “Ga usah, cuma kena dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,” lanjutnya. “Biasanya kan lo si sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang. “Makanya itu, gak ketebak banget cuacanya.” “Sama kayak lo,” lelaki itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.             Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya yang berdering. “Halo? Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya yang fokus menyetir. “Aku