Tokyo masih seperti biasa, sedikit manusianya banyak kesibukannya. Kehidupan yang teratur, bersih, terawat dan sudah biasa jika apapun dan di manapun terlihat sendiri. Mulai dari keberangkatanku menuju hingga akhirnya sampai di Tokyo, Aku sendirian dan Aku nyaman. Ini kali pertama sejak bertahun-tahun lamanya Aku harus meninggalkan Tokyo karena Aku harus menjalani proses penyembuhan total. Aku sedang sakit, bukan tubuhku, tapi jiwaku. Aku melupakan sesuatu hingga akhirnya Aku harus melanjutkan hidup dengan kepingan ingatan. Di usiaku yang menginjak angka 20, aku memutuskan untuk mencoba mengingatnya kembali.
“Shitsurei desuga, o kuni wa doko desu ka?” (Maaf,
kalau boleh tahu, Kau berasal dari negara mana?)
Dari sisi kanan
jendela mobil Aku langsung menoleh ke arah depan, supir taksi yang kupesan
begitu tiba di bandara menunggu jawabanku dengan melihatiku melalui kaca mobil.
“Watashi
wa Nippon jin desu.” (Aku orang Jepang)
Supir itu
tersenyum mendengar jawabanku begitu juga Aku. Kakak lelakiku bilang, tidak
akan ada yang percaya jika Aku mengatakan bahwa Aku orang Jepang, apa karena
Aku berdarah campuran?
“Apa orangtuamu ada
yang berasal dari Eropa?”
Aku
tidak tahu.
Aku
menggelengkan kepalaku tanpa menjawabnya, lalu fokusku terbagi lagi menuju sisi
jalanan, mengingat kembali apa yang terlupakan.
“Nona, sudah sampai.”
Supir taksi itu
dengan baiknya membantuku menurunkan 2 koper dari bagasi belakang mobilnya.
Sementara Aku memperhatikan sebuah rumah kayu yang mungkin dulunya adalah
rumahku. Perasaan itu datang begitu saja, perasaan rindu.
“Ini kopermu. Mau Aku
bawakan sampai dalam?” tanya supir taksi itu sambil menggosok kedua telapak
tangannya. Aku lupa cuaca di Tokyo saat ini mencapat 5o C.
“Aku sendiri saja,
terima kasih banyak.”
Aku membungkuk
lalu melambaikan tanganku hingga taksi itu hilang dari pandanganku. Melangkah
perlahan memasuki rumah yang asing namun terasa akrab bagiku.
“Hatara-chan!
Ohisasiburi desu!”(Hatara! Sudah lama tidak bertemu!)
Seorang wanita
paruh baya memelukku begitu Aku menekan pintu bel rumah, ini mengejutkan, tapi
Aku senang. Perempuan paruh baya itu juga melihatiku dan memperhatikan wajahku
seteliti mungkin, bibirnya tersenyum tetapi matanya menangis.
“Anata
wa donata desu ka?”(Anda siapa?)
Perempuan itu
masih tersenyum dan malah menyeret kedua koperku masuk lalu menyuruhku duduk di
dalam.
“Aku Hirota, teman
Ibumu. Dia sedang pergi, jadi selama Kau di sini Aku yang akan merawatmu.”
Aku mengangguk
dan tersenyum begitu Dia mengatakan bahwa Ia adalah teman Ibuku. Aku akan
panggil Dia Oba-san (Bibi).
“Sudah makan? Aku sudah
masak beberapa makanan kesukaanmu sebelum Kau tiba,” ucap Hirota Oba-san
lalu bangkit menuju ruang makan.
Aku melangkah
maju melewati Hirota Oba-san dan mendapati banyak sekali makanan yang
kelihatannya enak.
“Ini makanan
kesukaanku?” tanyaku sambil menunjuk semua makanan yang ada di meja.
“Mungkin Kau lupa, tapi
Aku memasaknya sesuai dengan resep Ibumu.”
Foto perempuan
cantik di ruang tamu tadi mungkin foto Ibuku, Aku tidak sabar bertemu
dengannya.
“Aku akan pulang
sebentar lagi, makanlah dengan lahap,” ucap Hirota Oba-san . “Aku akan kembali lagi malam nanti,” lanjutnya.
“Ibuku...”
“Ibumu juga menitipkan
sesuatu, Aku letakkan di ruang tamu.”
Wajah Hirota Oba-san terlihat tidak tenang dan itu sedikit
membuatku merasa bersalah karena tidak berhasil mengingatnya.
“Maafkan Aku tidak bisa
mengingatmu,” ucapku.
Hirota Oba-san tersenyum sambil mengusap rambutku. “Tidak
masalah, luka yang dihadapi tiap orang berbeda-beda,” ucapnya yang membuatku
tersenyum juga.
“Oba-san,
Haha wa doko desu ka?” (Bibi, Ibuku di mana?)
Pertanyaanku
hanya itu, tapi wajah Hirota Oba-san seketika berubah. Aku bahkan bisa melihat Ia
hendak menangis.
“Ibumu tidak
kemana-mana, Dia hanya kesakitan selama ini. Tapi tenanglah, Dia tidak sakit
lagi,” jawabnya.
“Kapan Aku bisa
melihatnya?”
“Kapan saja.”
~~~
#Tokyo, January
2019
Rumah itu masih
sama, masih sering Aku kunjungi setiap kali Aku menginjak tanah Tokyo. Hanya
ada satu tambahan, meja kecil di depan televisi. Meja kecil yang selalu Aku isi
dengan sepasang peralatan makan.
Aku sudah duduk
menghadap meja yang sudah kuisi dengan berbagai makanan sesuai dengan resep
Ibuku, semuanya adalah kesukaanku.
“Nyalakan
radio atau dengarkan musik saat makan, itu membantumu untuk makan dengan
lahap.”
Ah,
Aku lupa.
Aku mengambil
ponselku dan memutar lagu secara acak, lalu kembali duduk dan tersenyum.
“Pastikan
makanannya tidak keasinan.”
Sudah
pas.
“Ibu masakanku enak.”
I don’t think I can forget you
When the wind gets cold
The night our breaths touched
With smoke coming out of our mouths
We warmly held each other
With happy laughter
Nights we dreamed of a tomorrow
That will shine like the stars
When the wind gets cold
The night our breaths touched
With smoke coming out of our mouths
We warmly held each other
With happy laughter
Nights we dreamed of a tomorrow
That will shine like the stars
Universe,
lagu itu bersenandung begitu saja dari ponselku, Aku mengeluarkan DVD yang tadi
kutonton dengan DVD yang baru. Menunggu itu tayang, Aku masukkan sesuap makanan
ke dalam mulutku dengan tangan yang bergetar.
Laughter and tears, scars and healing
Questions and answers, they’re all in you
You have my world, you’re my small universe
The moment it vanishes, I will disappear as well
Questions and answers, they’re all in you
You have my world, you’re my small universe
The moment it vanishes, I will disappear as well
Aku ingin
mengganti lagunya, tapi Aku tidak sanggup.
“Kudo
Hatara, anak perempuanku yang cantik, ini Aku Ibumu. Saat aku merekam ini,
usiamu masih 5 tahun, tapi Ibu mungkin sudah tidak bersamamu kalau Kau sudah
melihat video ini. Ibu tidak pergi kemanapun, Ibu hanya berpindah ke semesta
yang lain,”
Sudah
bertahun-tahun Aku menonton video peninggalan Ibu, tapi Aku masih tidak bisa
untuk tidak menjatuhkan air mata di makananku sendiri.
“Hatara,
semesta kecilku. Semesta yang harusnya kulindungi malah berbalik melindungiku.
Kau tahu kan Ibu sakit parah? Kau juga tahu kalau Ibu tidak bisa menemanimu
sampai Kau menginjak bangku sekolah, tapi Ibu pastikan akan melihat semuanya
dari semesta yang lain. Ibu mungkin ada di semesta yang lain, tapi Ibu tidak lupa
dengan semesta yang sudah Ibu ciptakan, Anakku yang menyukai musik, pemandangan, dan
Ibunya.”
Memories always bring tears
Where it was all washed away baby
Only you remain
Where it was all washed away baby
Only you remain
“Ibu.... Ibu...”
Aku menutup wajahku dengan telapak tangan kiriku,
menutupi diriku yang menangis.
“Jangan
menangis kalau sedang merindukan Ibu. Kalau Kau menangis, Aku hanya bisa
melihatnya tanpa bisa mengusap air matamu.”
Aku masih saja
menutupi wajahku, Aku hanya menangis tanpa bersuara. Itu menyiksaku, tapi lebih
menyiksa jika Ibuku tahu.
“Besok
Ibu akan menepati janji Ibu, kita jalan-jalan ke kebun binatang. Kondisi Ibu
sudah sangat kritis, tapi jika mengingatmu Ibu merasa sudah sehat dan tidak
perlu lagi menjalani kemoterapi dan segala hal medis itu. Ibu pastikan anak Ibu
nanti bersenang-senang di kebun binatang, Ibu akan pinjam mobil Hirota Oba-san .”
“Ibu....
maafkan Aku.....”
Aku
memukul-mukul dadaku rasanya sakit sekali di dalam sana. Seandainya waktu itu
Aku tidak memohon pergi, mungkin Ibu masih bisa berjuang untuk hidup.
I’ll search the universe
Until I can find you again
I won’t let go, even the smallest memories
Memories engraved in the seasons
They come back
So I will find you
Because that’s love
Until I can find you again
I won’t let go, even the smallest memories
Memories engraved in the seasons
They come back
So I will find you
Because that’s love
“Apapun
yang terjadi, Kau tetap Kudo Hatara, anakku yang cantik dan Aku tetap Ibumu
yang selalu merindukanmu.”
Kedua tanganku kini
menutup wajahku, Aku menangis dan menyesal, keinginanku membuat Aku merasakan
sakit di jiwaku, hidup dengan kepingan ingatan, dan membuat Ibuku pergi.
Aku sudah ingat
semuanya. Mobil itu rusak parah, Ibuku memelukku, Aku menangis, lalu Aku
melupakannya.
~the end~
Komentar
Posting Komentar