Langsung ke konten utama

MOVIE REVIEW - JOHN WICK : CHAPTER 4

                                           


JOHN WICK : CHAPTER 4

“Aksi Laga Indah, Persembahan Terakhir (?) Jonathan Wick”

 

            Rasanya penantian saya menanti John Wick : Chapter 4 ini sangat terbayar tuntas. Selama 2 jam 49 menit, saya disuguhi aksi laga menakjubkan dengan latar belakang sinematografi yang sangat indah. Seperti melihat parade atau pameran sinematografi, sehingga sangat disarankan untuk ditonton langsung di layar bioskop untuk hasil yang memuaskan.



            Jika saja John Wick ini adalah sebuah teks soal ujian, maka pertanyaan yang muncul adalah ‘Berapa sisa nyawa John Wick?’

            Sudah lama menunggu sampai ditunda masa penayangan, Saya sama sekali tidak menonton trailer John Wick : Chapter 4. Demi tidak menaikkan atau menurunkan ekspetasi saya saat menontonnya nanti. Ternyata hasilnya ‘wow’ ‘wow’ ‘wow’ sepanjang film. Saya terpukau sepanjang film dengan aksi laga, cerita hingga ke akting para pemainnya.

            Saya tahu bahwa Donnie Yen masuk ke jajaran cast, tetapi tidak menyangka akan se-wow itu aksi dan peran yang dia mainkan.  Memerankan sosok Caine, the Blind who can fight so easily, ah rasanya mau tepuk tangan saja saat kemunculannya. Walaupun berada di pihak berlawanan dengan Wick, tapi jujur saja perannya membuat Saya sangat mengagumi aksinya sebagai Caine.




            John Wick : Chapter 4 selain menonjolkan aksi yang mendebarkan namun juga menunjukkan sisi emosional Jonathan. Lebih dari sekedar aksi balas dendam antara Jonathan setelah menjadi Excommunicado dengan para penguasa The High Table, namun juga ikatan pertemanannya dengan Caine, Winst on hingga Koji. Yah, old friend, new enemies.

            Scene favorit saya yaitu saat Wick terjebak di Osaka Continental milik Koji. Saat Koji harus menghadapi serangan Marchese de Gramont, dan tak kalah menarik adalah saat Akira juga harus bekerja sama dengan Wick untuk menghadang serangan bertubi-tubi.



            Seluruh scene terasa sempurna hingga rasanya sulit untuk diungkapkan melalui tulisan. Film ini memiliki 1 post credit scene dengan durasi 30 detik. Masih belum jelas apakah akan ada pre-quel ataupun sequel selanjutnya dari John Wick, karena proyek ke-4 ini rasanya sudah sangat pas untuk menjadi momen perpisahan John Wick yang rilis sejak tahun 2014 lalu.

             John Wick : Chapter 4 baru saja rilis 22 Maret lalu, dan masih sangat segar untuk disaksikan di layer bioskop kesayangan anda. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Movie Review : [Exhuma : Menggali Dendam Kelam Sejarah Negara ]

Pertama-tama setelah menonton Exhuma, yang ingin saya ucapkan adalah Kim Goeun di layar bioskop lebih cakep daripada di layar ponsel. Kayak bingung aja gitu mau kagum sama visual atau akting dia yang sama-sama gong banget itu. Baiklah, review ini akan saya mulai dengan bismillah. Exhuma bukan sekedar film horror yang menjual jumpscare ala-ala gitu, tetap ada sisi mengejutkan yang yah cukup bisa membuat duduk para penonton menjadi gelisah. Jujur, waktu nonton ini ada perasaan gelisah yang lebih ke greget untuk fast forward ke scene berikutnya. Jika dibandingkan dengan The Wailing (2016), Exhuma masih jauh lebih mudah untuk dimengerti jalan ceritanya. Siapa yang pernah kepikiran untuk jadiin film horror berbasis sejarah Negara? Untuk mengerti alur cerita film ini, setidaknya kita harus paham dulu mengenai sejarah kelam Korea dengan Jepang.   Dari awal film dimulai, semua scene masih terasa biasa saja, tidak banyak jumpscare namun setiap scene-nya berhasil menyampaikan bahwa ‘ini lo

Hati-Hati di Jalan

             a short story inspired by Tulus' song.                  Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya. “Ga usah, cuma kena dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,” lanjutnya. “Biasanya kan lo si sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang. “Makanya itu, gak ketebak banget cuacanya.” “Sama kayak lo,” lelaki itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.             Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya yang berdering. “Halo? Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya yang fokus menyetir. “Aku