Langsung ke konten utama

Hati-Hati di Jalan

           


a short story inspired by Tulus' song.


                Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya.

“Ga usah, cuma kena dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,” lanjutnya.

“Biasanya kan lo si sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang.

“Makanya itu, gak ketebak banget cuacanya.”

“Sama kayak lo,” lelaki itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.

            Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya yang berdering.

“Halo? Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya yang fokus menyetir. “Aku minta tolong jemput temenku.”

            Tak lama panggilan itu berakhir dan perempuan itu tersenyum melihat lelaki yang kini menjadi temannya itu.

“Makasih ya Han udah repot jemput gue di bandara,” ucap perempuan itu.

“Santai kali Mir, ntar kalo Farah ga bisa jemput, gue juga bakal minta tolong sama lo,” balas lelaki bernama Farhan itu.

            Mira tersenyum mendengarnya, ia lalu menghela nafas lega sambil sekali lagi melihat ke arah luar yang masih diguyur hujan.

“Lo balik dari Bali ke Jakarta mau ngapain?” tanya Farhan.

Mira menoleh masih dengan senyumannya. “Gue mau bantu Ardi untuk siapin pernikahan kita berdua,” jawabnya.

Farhan menoleh dan ikut tersenyum. “Wah, kapan tuh? Gue sama Farah juga lagi sibuk siapin pernikahan nih,” tanya Farhan sambil berhati-hati membelokkan setirnya.

“Oh ya? Gue sama Ardi sih sepakat tanggal 20 bulan depan.”

Farhan menoleh kaget dan membuat Mira bingung. “Gue sama Farah tuh akad tanggal 28 bulan depan juga,” ucapnya.

“Serius? Akad doang atau resepsi nyusul?” tanya Mira sambil mengecilkan suhu AC mobil Farhan.

“Akad dulu, soalnya keluarga Farah maunya resepsi besar dan keluarganya itu harus dateng semua,” jawab Farhan.

“Gue 8 hari lebih dulu dong ya jadi istri orang,” ucap Mira.

“Ya.”

            Suasana terasa hening dan hanya deruan hujan yang suaranya menembus ke dalam mobil mereka.

“Gue ada cerita lucu nih.”

“Apaan?” tanya Farhan dengan semangatnya.

“Lo tau kan kalo kita itu sama-sama ga suka makanan pedes?”

“Ya, terus?”

“Jadi ini kejadian pas first time gue ketemu sama nyokapnya Ardi, lo tau sendiri kan ketemu calon mertua itu lebih deg-degan daripada ketemu crush pertama kali,” ucap Mira. “Ardi itu orang Jawa, cuma nyokapnya orang Sumatera asli. Gue baru tau kalo orang Sumatera itu doyan masakan pedes,” lanjutnya.

“Jangan bilang ....” Farhan mengerutkan keningnya mencoba menebak arah cerita Mira.

“Jadi nyokapnya itu masak dan ga mungkin dong gue gak makan tuh masakan, waktu itu tuh ada Ardi, nyokap-bokapnya dan adiknya yang cowo,” Mira mencoba menjelaskan dengan senyuman yang sulit ia tahan. “Gue makan dong tuh masakannya, waktu itu nyokapnya Ardi masak soto ayam gitu kan, padahal gue ga pake sambel tapi kerasa banget pedesnya!” lanjutnya.

            Tanpa menolehkan pandangannya dari jalanan, Farhan menyunggingkan senyumnya saat mendengar cerita Mira.

“Ga sampe disitu, nyokapnya Ardi malah nuangin sambel cabe ijonya ke mangkok gue!” ucap Mira. “Ardi nahan ketawa banget lihat gue cengo bingung gitu kan, gue makan juga tuh soto yang udah kena kontaminasi cabe ijo. Asli ya Farhan gue rasanya mau teriak saking pedesnya,” jelas Mira yang langsung disambut tawa dari Farhan.

“Inget banget gue, kita berdua makan ayam geprek level 3 aja udah keringetan nahan pedes sampe mampus, nah itu gimana?” tanya Farhan.

“Kayanya waktu itu pedesnya level 10 deh,” jawab Mira. “Muka gue tuh kayanya udah merah nahan pedes dan untungnya Ardi langsung nyodorin susu ke gue dan tentunya sambil nahan ketawa,” lanjutnya.

            Mira dan Farhan masih tertawa kekeh sambil sesekali melihat keadaan luar yang masih diguyur hujan.

“Gue juga ada cerita yang gak kalah ajaib tau!” seru Farhan.

“Oh ya? Apaan tuh?” seru Mira yang tak kalah semangatnya.

“Lo tau kan kita berdua itu paling casual banget urusan penampilan? Kalo bisa sih kondangan cuma pake kaos doang deh,” ucap Farhan yang disambut anggukan dari Mira. “Jadi ya sama sih case-nya, gue diajak nyokap Farah untuk gabung acara keluarga mereka yang gue kira cuma makan malem biasa,” lanjutnya.

            Mira masih fokus mendengarkan cerita Farhan dengan tetap memandang lelaki itu.

“Lo inget kan kaos sama celana Uniqlo yang lo beliin untuk ulang tahun gue?” tanya Farhan.

“Ingetlah! Kenapa?”

“Gue pake tuh outfit untuk ke acara keluarga si Farah, kaos biru polos yang bordirannya kecil di tete gue itu, sama celana krem,” jelas Farhan. “Kebetulan gue dateng sendiri, karena Farah dateng bareng ortu dia kan. Jadi karena gue takut canggung, gue suruhlah Farah ke parkiran jemput gue, dan tau apa yang terjadi selanjutnya?” ucap Farhan sambil menoleh ke arah Mira yang masih mendengarkan ceritanya.

“Jangan bilang lo salah dress code?” tebak Mira.

“Anjir pas! Gue sama Farah tuh sama-sama cengo awalnya terus ngakak bareng-bareng, dia tuh cakep bener pake dress malam gitu kan, sementara gue gayanya kayak mau makan di Solaria,” jelas Farhan yang mengundang tawa Mira.

“Gila lo ya!”

“Gue tuh lupa kalo Farah orang Batak yang keluarganya udah pasti besar, dan dia juga gabilang kalo tuh acara sebenernya ulang tahun bokapnya, mana gue belom beli kado juga kan!” tambah Farhan yang semakin membuat Mira tertawa.

“Terus gimana?” tanya Mira di sela tawanya.

“Jadi gue sama Farah malam itu juga nyari store baju formal dan sekalian beli kado buat bokapnya, asli deh sepanjang jalan tuh ya gue sama Farah ngakak terus,” jawab Farhan. “Gue sampe mikir kapan terakhir kali gue bisa ketawa kayak saat itu, karena rasanya konyol tapi itu nyata,” tambahnya.

Masih tertawa kemudian Mira ingat sesuatu. “Jadi inget dulu pas kita undangan ke nikahannya Wira,” ucapnya.

“Hah kapan tuh?” tanya Farhan yang bingung.

“Pas kita janjian ketemu di lokasi, dan ternyata kita sama-sama salah pake baju!” jawab Mira dengan antusiasnya.

Farhan memejamkan matanya dan lalu tertawa saat teringat momen masa lalunya. “Waktu itu kan lo sendiri yang bilang supaya pakai batik, ya gue pakelah!” ucap Farhan membela diri.

“Ya kan Han kita kan emang punya 2 batik yang sama, biru sama ijo dan itu 2 warna yang jelas banget bedanya,” jelas Mira. “Gue udah jelas banget bilang kalo gue pake baju batik yang ijo,” lanjutnya.

Farhan masih tertawa. “Gue asal nyomot aja, karena ga denger lo bilang warna apa pas di telepon. Mana warnanya sama lagi kayak bagian prasmanan, gue berasa gak undangan tau,” keluh Farhan yang kini semakin membuat tawa Mira pecah.

“Gue waktu itu kesel banget sumpah, tapi pas liat komuk lo yang risih banget dikira bagian prasmanan, gue ga bisa nahan ketawa,” ucap Mira.

            Tawa mereka sama-sama pecah dan perlahan hilang ditelan suara guyuran hujan yang masih menembus mobil mereka. Dinginnya cuaca semakin mendukung suasana mereka yang perlahan menjadi canggung.

“Gak nyangka ya.”

            Mira langsung menoleh dan mendapati Farhan masih fokus melihati mobil di depan mereka. Tak hanya terjebak di cuaca dingin dan lampu merah yang memaksa berhenti, tapi juga masa lalu yang sudah usai.

“Kita dulu pasangan yang sekarang jadi pasangan orang lain,” ucap Farhan yang mengundang senyum di wajah Mira.

“Mungkin gue cuma bisa dateng pas di akad lo doang,” ucap Mira.

“Kenapa gitu?”

“Setelah nikah nanti, gue bakal ikut Ardi ke Berlin.”

“Ardi kerja di sana?” tanya Farhan yang disambut anggukan dari Mira. “Urusan di Bali gimana?” tanyanya lagi.

“Udah gue serahin ke Mita.”

            Farhan mengangguk paham. Mobilnya sejak tadi sudah melaju, lampu sen kanannya berkedip. Hubungannya memang sudah usai, tapi ingatannya masih jelas terpatri, termasuk alamat rumah Mira.

“Makasih banyak ya! Pas banget hujannya udah berhenti,” ucap Mira sambil menggeret kopernya.

            Farhan tersenyum di dalam mobil dengan tangan yang memegang setir, saling pandang dengan Mira, masa lalunya.

“Hati-hati di jalan,” ucap Mira.

“Makasih, Mira.”

           Farhan dan mobilnya sudah bergerak jauh, namun Mira masih tersenyum. Dua tahun lalu di momen seperti ini, ia menangis. Kini kisah dan masa lalunya benar-benar usai, ia bisa tersenyum sambil menyambut masa depannya, Ardi. 


Tamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOVIE REVIEW - JOHN WICK : CHAPTER 4

                                            JOHN WICK : CHAPTER 4 “Aksi Laga Indah, Persembahan Terakhir (?) Jonathan Wick”               Rasanya penantian saya menanti John Wick : Chapter 4 ini sangat terbayar tuntas. Selama 2 jam 49 menit, saya disuguhi aksi laga menakjubkan dengan latar belakang sinematografi yang sangat indah. Seperti melihat parade atau pameran sinematografi, sehingga sangat disarankan untuk ditonton langsung di layar bioskop untuk hasil yang memuaskan.             Jika saja John Wick ini adalah sebuah teks soal ujian, maka pertanyaan yang muncul adalah ‘Berapa sisa nyawa John Wick?’             Sudah lama menunggu sampai ditunda masa penayangan, Saya sama sekali tidak menonton trailer John Wick : Chapter 4. Demi tidak menaikkan atau menurunkan ekspetasi saya saat menontonnya nanti. Ternyata hasilnya ‘wow’ ‘wow’ ‘wow’ sepanjang film. Saya terpukau sepanjang film dengan aksi laga, cerita hingga ke akting para pemainnya.             Saya tahu bahwa Donni

Movie Review : [Exhuma : Menggali Dendam Kelam Sejarah Negara ]

Pertama-tama setelah menonton Exhuma, yang ingin saya ucapkan adalah Kim Goeun di layar bioskop lebih cakep daripada di layar ponsel. Kayak bingung aja gitu mau kagum sama visual atau akting dia yang sama-sama gong banget itu. Baiklah, review ini akan saya mulai dengan bismillah. Exhuma bukan sekedar film horror yang menjual jumpscare ala-ala gitu, tetap ada sisi mengejutkan yang yah cukup bisa membuat duduk para penonton menjadi gelisah. Jujur, waktu nonton ini ada perasaan gelisah yang lebih ke greget untuk fast forward ke scene berikutnya. Jika dibandingkan dengan The Wailing (2016), Exhuma masih jauh lebih mudah untuk dimengerti jalan ceritanya. Siapa yang pernah kepikiran untuk jadiin film horror berbasis sejarah Negara? Untuk mengerti alur cerita film ini, setidaknya kita harus paham dulu mengenai sejarah kelam Korea dengan Jepang.   Dari awal film dimulai, semua scene masih terasa biasa saja, tidak banyak jumpscare namun setiap scene-nya berhasil menyampaikan bahwa ‘ini lo