Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya.
“Ga usah, cuma kena
dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,”
lanjutnya.
“Biasanya kan lo si
sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang.
“Makanya itu, gak
ketebak banget cuacanya.”
“Sama kayak lo,” lelaki
itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.
Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan
menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang
deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya
yang berdering.
“Halo?
Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya
yang fokus menyetir. “Aku minta tolong
jemput temenku.”
Tak lama panggilan itu berakhir dan perempuan itu
tersenyum melihat lelaki yang kini menjadi temannya itu.
“Makasih ya Han udah
repot jemput gue di bandara,” ucap perempuan itu.
“Santai kali Mir, ntar
kalo Farah ga bisa jemput, gue juga bakal minta tolong sama lo,” balas
lelaki bernama Farhan itu.
Mira tersenyum mendengarnya, ia lalu menghela nafas lega
sambil sekali lagi melihat ke arah luar yang masih diguyur hujan.
“Lo balik dari Bali ke
Jakarta mau ngapain?” tanya Farhan.
Mira menoleh masih
dengan senyumannya. “Gue mau bantu Ardi untuk siapin pernikahan kita berdua,”
jawabnya.
Farhan menoleh dan ikut
tersenyum. “Wah, kapan tuh? Gue sama Farah juga lagi sibuk siapin pernikahan
nih,” tanya Farhan sambil berhati-hati membelokkan setirnya.
“Oh ya? Gue sama Ardi
sih sepakat tanggal 20 bulan depan.”
Farhan menoleh kaget
dan membuat Mira bingung. “Gue sama Farah tuh akad tanggal 28 bulan depan juga,”
ucapnya.
“Serius? Akad doang
atau resepsi nyusul?” tanya Mira sambil mengecilkan suhu AC mobil Farhan.
“Akad dulu, soalnya
keluarga Farah maunya resepsi besar dan keluarganya itu harus dateng semua,”
jawab Farhan.
“Gue 8 hari lebih dulu
dong ya jadi istri orang,” ucap Mira.
“Ya.”
Suasana terasa hening dan hanya deruan hujan yang
suaranya menembus ke dalam mobil mereka.
“Gue ada cerita lucu
nih.”
“Apaan?” tanya Farhan
dengan semangatnya.
“Lo tau kan kalo kita
itu sama-sama ga suka makanan pedes?”
“Ya, terus?”
“Jadi ini kejadian pas first time gue ketemu sama nyokapnya
Ardi, lo tau sendiri kan ketemu calon mertua itu lebih deg-degan daripada
ketemu crush pertama kali,” ucap
Mira. “Ardi itu orang Jawa, cuma nyokapnya orang Sumatera asli. Gue baru tau
kalo orang Sumatera itu doyan masakan pedes,” lanjutnya.
“Jangan bilang ....”
Farhan mengerutkan keningnya mencoba menebak arah cerita Mira.
“Jadi nyokapnya itu
masak dan ga mungkin dong gue gak makan tuh masakan, waktu itu tuh ada Ardi,
nyokap-bokapnya dan adiknya yang cowo,” Mira mencoba menjelaskan dengan
senyuman yang sulit ia tahan. “Gue makan dong tuh masakannya, waktu itu nyokapnya
Ardi masak soto ayam gitu kan, padahal gue ga pake sambel tapi kerasa banget
pedesnya!” lanjutnya.
Tanpa menolehkan pandangannya dari jalanan, Farhan
menyunggingkan senyumnya saat mendengar cerita Mira.
“Ga sampe disitu,
nyokapnya Ardi malah nuangin sambel cabe ijonya ke mangkok gue!” ucap Mira. “Ardi
nahan ketawa banget lihat gue cengo bingung gitu kan, gue makan juga tuh soto
yang udah kena kontaminasi cabe ijo. Asli ya Farhan gue rasanya mau teriak
saking pedesnya,” jelas Mira yang langsung disambut tawa dari Farhan.
“Inget banget gue, kita
berdua makan ayam geprek level 3 aja udah keringetan nahan pedes sampe mampus,
nah itu gimana?” tanya Farhan.
“Kayanya waktu itu
pedesnya level 10 deh,” jawab Mira. “Muka gue tuh kayanya udah merah nahan
pedes dan untungnya Ardi langsung nyodorin susu ke gue dan tentunya sambil
nahan ketawa,” lanjutnya.
Mira dan Farhan masih tertawa kekeh sambil sesekali
melihat keadaan luar yang masih diguyur hujan.
“Gue juga ada cerita
yang gak kalah ajaib tau!” seru Farhan.
“Oh ya? Apaan tuh?”
seru Mira yang tak kalah semangatnya.
“Lo tau kan kita berdua
itu paling casual banget urusan penampilan? Kalo bisa sih kondangan cuma pake
kaos doang deh,” ucap Farhan yang disambut anggukan dari Mira. “Jadi ya sama
sih case-nya, gue diajak nyokap Farah untuk gabung acara keluarga mereka yang
gue kira cuma makan malem biasa,” lanjutnya.
Mira masih fokus mendengarkan cerita Farhan dengan tetap
memandang lelaki itu.
“Lo inget kan kaos sama
celana Uniqlo yang lo beliin untuk ulang tahun gue?” tanya Farhan.
“Ingetlah! Kenapa?”
“Gue pake tuh outfit
untuk ke acara keluarga si Farah, kaos biru polos yang bordirannya kecil di
tete gue itu, sama celana krem,” jelas Farhan. “Kebetulan gue dateng sendiri,
karena Farah dateng bareng ortu dia kan. Jadi karena gue takut canggung, gue
suruhlah Farah ke parkiran jemput gue, dan tau apa yang terjadi selanjutnya?”
ucap Farhan sambil menoleh ke arah Mira yang masih mendengarkan ceritanya.
“Jangan bilang lo salah
dress code?” tebak Mira.
“Anjir pas! Gue sama
Farah tuh sama-sama cengo awalnya terus ngakak bareng-bareng, dia tuh cakep
bener pake dress malam gitu kan, sementara gue gayanya kayak mau makan di
Solaria,” jelas Farhan yang mengundang tawa Mira.
“Gila lo ya!”
“Gue tuh lupa kalo
Farah orang Batak yang keluarganya udah pasti besar, dan dia juga gabilang kalo
tuh acara sebenernya ulang tahun bokapnya, mana gue belom beli kado juga kan!”
tambah Farhan yang semakin membuat Mira tertawa.
“Terus gimana?” tanya
Mira di sela tawanya.
“Jadi gue sama Farah
malam itu juga nyari store baju formal dan sekalian beli kado buat bokapnya,
asli deh sepanjang jalan tuh ya gue sama Farah ngakak terus,” jawab Farhan. “Gue
sampe mikir kapan terakhir kali gue bisa ketawa kayak saat itu, karena rasanya
konyol tapi itu nyata,” tambahnya.
Masih tertawa kemudian
Mira ingat sesuatu. “Jadi inget dulu pas kita undangan ke nikahannya Wira,”
ucapnya.
“Hah kapan tuh?” tanya
Farhan yang bingung.
“Pas kita janjian
ketemu di lokasi, dan ternyata kita sama-sama salah pake baju!” jawab Mira
dengan antusiasnya.
Farhan memejamkan
matanya dan lalu tertawa saat teringat momen masa lalunya. “Waktu itu kan lo
sendiri yang bilang supaya pakai batik, ya gue pakelah!” ucap Farhan membela
diri.
“Ya kan Han kita kan
emang punya 2 batik yang sama, biru sama ijo dan itu 2 warna yang jelas banget
bedanya,” jelas Mira. “Gue udah jelas banget bilang kalo gue pake baju batik
yang ijo,” lanjutnya.
Farhan masih tertawa. “Gue
asal nyomot aja, karena ga denger lo bilang warna apa pas di telepon. Mana warnanya
sama lagi kayak bagian prasmanan, gue berasa gak undangan tau,” keluh Farhan
yang kini semakin membuat tawa Mira pecah.
“Gue waktu itu kesel
banget sumpah, tapi pas liat komuk lo yang risih banget dikira bagian
prasmanan, gue ga bisa nahan ketawa,” ucap Mira.
Tawa mereka sama-sama pecah dan perlahan hilang ditelan
suara guyuran hujan yang masih menembus mobil mereka. Dinginnya cuaca semakin
mendukung suasana mereka yang perlahan menjadi canggung.
“Gak nyangka ya.”
Mira langsung menoleh dan mendapati Farhan masih fokus
melihati mobil di depan mereka. Tak hanya terjebak di cuaca dingin dan lampu merah
yang memaksa berhenti, tapi juga masa lalu yang sudah usai.
“Kita dulu pasangan
yang sekarang jadi pasangan orang lain,” ucap Farhan yang mengundang senyum di
wajah Mira.
“Mungkin gue cuma bisa
dateng pas di akad lo doang,” ucap Mira.
“Kenapa gitu?”
“Setelah nikah nanti,
gue bakal ikut Ardi ke Berlin.”
“Ardi kerja di sana?”
tanya Farhan yang disambut anggukan dari Mira. “Urusan di Bali gimana?”
tanyanya lagi.
“Udah gue serahin ke Mita.”
Farhan mengangguk paham. Mobilnya sejak tadi sudah
melaju, lampu sen kanannya berkedip. Hubungannya memang sudah usai, tapi
ingatannya masih jelas terpatri, termasuk alamat rumah Mira.
“Makasih banyak ya! Pas
banget hujannya udah berhenti,” ucap Mira sambil menggeret kopernya.
Farhan tersenyum di dalam mobil dengan tangan yang
memegang setir, saling pandang dengan Mira, masa lalunya.
“Hati-hati di jalan,”
ucap Mira.
“Makasih, Mira.”
Farhan dan mobilnya sudah bergerak jauh, namun Mira masih
tersenyum. Dua tahun lalu di momen seperti ini, ia menangis. Kini kisah dan
masa lalunya benar-benar usai, ia bisa tersenyum sambil menyambut masa
depannya, Ardi.
Tamat.
Komentar
Posting Komentar