Langsung ke konten utama

[CERPEN] -- Rain Fall


Rain Fall a short story by Fujama. Based on Paul Kim's song, Rain. Happy reading.

Malam itu ramai seperti biasa, langit Seoul yang gelap dengan warna-warni lampu kota. sebulan yang lalu adaAku dan satu orang, hanya berdua, tapi rasanya Aku seperti sedang bersama dengan seluruh warga kota Seoul. Saat ini Aku ada bersama dengan banyak orang di sekitarku, tapi rasanya Aku seperti sedang sendiri, menghirup udara, memabukkan diri sendiri, dengan harapan melupakan rasa sakit.

The rain comes and goes
As if to tell a sad story
When the rain finally stops
Would it my turn to cry

Faktanya Aku memang sendirian, di kedai minum langgananku, ah tidak Aku tidak sendirian, dua botol soju sudah menemaniku sebelumnya. Biasanya Aku akan berjalan lalu berhenti dan duduk di satu tempat sambil menunggu seseorang yang sudah mengenal kebiasaanku saat mabuk. Bertingkah menggemaskan dan menganggap orang yang kukenal sebagai orang lain.

Rain milik Paul Kim sudah selesai dan berganti dengan lagu lainnya, tapi rasanya lagu tersebut bermain sendiri di pikiranku.

Ahjumma! (Bibi) tolong keraskan suara radionya!” ucapku setengah berteriak. Suasana saat itu tidak begitu ramai, hanya 3 meja yang terisi dari 6 meja yang tersedia. 2 meja masing-masing diisi dengan dua pasangan yang memadu kasih dan satu meja terakhir hanya ada Aku.

Bibi pemilik kedai menghampiriku sambil membawakanku satu botol soju dan meletakkannya di atas meja.

“Terima kasih.”

“Kalau sedih, menangislah. Mabuk seorang diri tidak membantumu,” Aku melihat ke arah Bibi pemilik kedai dan tersenyum sampai ia kembali ke meja miliknya.

Kesedihanku berada di tahap dimana Aku sama sekali tidak bisa mengeluarkan air mata. Hatiku hancur dan Aku hanya bisa melihatinya tanpa bisa memperbaiki kembali.

Aku menunduk dan seketika langsung mengangkat kembali kepalaku, seorang pria sudah duduk di depanku, memakai pakaian serba hitam dan topi, ia sedang menyamar. Aku juga langsung menoleh ke arah Bibi pemilik kedai dan dia hanya tersenyum padaku sambil menempelkan gagang telepon di telinganya.


“Kau sedang sedih, jadi pasti butuh pacarmu.”

Kurang lebih seperti itu jika Aku benar dalam membaca raut wajah Bibi pemilik kedai yang sudah mengenalku selama bertahun-tahun. Bukan salahnya karena tidak tahu kalau Aku dan pria yang di hadapanku sekarang sudah berpisah sejak sebulan yang lalu.

“Bagaimana kabarmu?” tanyanya sambil menarik gelasku dan menghabiskan sisa di dalamnya.
“Aku tidak tahu,” jawabku sambil mengusap wajahku. “Aku yang minta untuk menyudahi hubungan ini, tapi kenapaAku yang masih merasakan sakitnya?” lanjutku.
“Maafkan Aku.”
“Jika kau bertanya kabarku, Aku masih sibuk seperti biasa. Membuat lagu dan jadi produser album beberapa penyanyi, Aku masih sibuk,” ucapku.

Ia mengangguk dan tersenyum, ia paham perkataanku yang berarti ‘aku~baik-baik~saja’.

“Aku merindukanmu.”

Aku juga.

“Aku tahu kau tidak akan memaafkanku, tapi Aku merindukanmu.”

Aku terdiam menatapnya dengan sendu, lalu mengambil alih gelas dan menuangkan soju sebanyak mungkin. Malam itu hujan perlahan turun, hujan terakhir menyambut musim gugur. Aku sudah sangat sakit, nyaris 3 botol soju kuhabiskan dan Aku belum mabuk.

“Selama setahun, Aku selalu merindukanmu, tapi kau selalu menyakitiku.”

“Ji Hyun-ah, Aku tidak tahu kalau saat itu kau berada di apartemenku....”

“Aku membawakanmu makanan karena Aku tahu kau sedang sakit,” potongku sejenak sambil mencengkram erat gelas sojuku. “Dia menciummu begitu saja dan kau yang diam saja.... memang seharusnya Aku tidak ada di sana saat itu,” lanjutku.

Aku mengulum bibir sendiri lalu menutup wajah dengan kedua telapak tanganku, Aku menangis. Ini pertama kalinya sejak Aku berpisah dengannya sebulan yang lalu, tangisku pecah begitu saja. 

Strumming down to my memories
Through the staticky radio
Plays yet another love song
The sad memories I hide deep down
Wash up through the rain

Entah sejak kapan hanya mejaku saja yang terisi, kecuali Bibi pemilik kedai semua sudah pergi. Aku hanya mendengar suaraku menangis, hujan yang turun, dan Rain milik Paul Kim yang kembali terdengar melalui radio.

“Aku menyukaimu secara bertahap, membencimu, menyukaimu, mencintaimu, lalu tetap mencintaimu meskipun sudah menyakitiku berkali-kali.”

Ia melepas topinya dan mengusap wajahnya, Aku melihat matanya yang memerah. Ia hendak menangis sepertiku, tapi rasa malu karena telah menyakitiku mencegahnya menangis.

“Apa kita benar-benar berakhir?” tanyanya.
“Aku tidak ingin ini berakhir, tapi kau yang membuat semuanya tampak berakhir.”
“Aku sangat....mencintaimu.”

Aku juga.

“Teman. Ayo kita berteman,” ucapku sambil mengusap kedua mataku dan mencoba tersenyum.  “Lelaki yang pernah singgah di hatiku selalu menyakitiku, tapi temanku tidak karena Aku tidak punya satupun teman. Kau bisa menjadi satu-satunya,” lanjutku.

Dia tersenyum namun matanya semakin memerah, rasa bersalahnya sangat paham kalau Aku benar-benar sudah kacau. 

“Ji Cheol-ah, temanku terima kasih banyak untuk semuanya. Maafkan Aku,” ucapku lalu bangkit dari dudukku sambil terhuyung mencoba membayar total minumanku.

The night We shared
And the love song We sang
Sweeter than any dream
Did I give up easily
When I ran into you
I quickly turned to hide
To not show how much I missed you
Why did I let you go
Good bye

Sambil terhuyung aku berjalan keluar dari kedai menembus hujan yang kini tinggal rintiknya saja. Jalanan yang biasa Aku lalui berdua dengannya kini harus terbiasa Aku lalui sendirian. Menarik nafas sebanyak mungkin, menghembuskannya seperlahan mungkin, jiwaku sudah separah itu.

“Bagaimana bisa dia tersenyum seperti itu? Tanpa tahu bagaimana keadaanku?” aku berjalan sambil memandang wajah yang sangat kukenal terpampang di atas gedung searah dengan langkahku.

Song Ji Cheol, aktor tampan itu sedang tersenyum dengan produk iklan miliknya. Song Ji Cheol, masa laluku.

“The melody that filled the streets, the tune we used to sing along to ..... Where did you go ... 
The sunshines so bright, you shine so bright .... And kept me dry from the rain, you’re my sunshine.... The sunshine I let go ... Goodbye....”

Aku terduduk begitu saja setelah menyanyikan satu bait terakhir dari Rain milik Paul Kim, Aku menangis lagi. Benar-benar menangis, menepuki dadaku sendiri seperti saat aku kehilangan Ibuku terakhir kali, aku benar-benar kehilangan.

Song Ji Cheol, kini menjadi temanku. Pria baik yang menyakitiku tepat pada waktunya, Aku harap dia baik-baik saja. 


THE END

Komentar

  1. Semangat menulis, semoga tetap bisa menghasilkan karya-karya terbaik, dan ide-ide gilamu, menembus cakrawala tanpa batas. Wkwkkwkwkw����

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha thank you >.< tapi tolong itu menembus cakrawalanya agak diganti. masa lalu -_-' :D

      Hapus
  2. Ahh imajinasi yang luar biasa. Keren fujaa. Btw masih inget ga nih?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Septi >.< masih ingetlah T.T makasih banyak komentarnya :)

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Movie Review : [Exhuma : Menggali Dendam Kelam Sejarah Negara ]

Pertama-tama setelah menonton Exhuma, yang ingin saya ucapkan adalah Kim Goeun di layar bioskop lebih cakep daripada di layar ponsel. Kayak bingung aja gitu mau kagum sama visual atau akting dia yang sama-sama gong banget itu. Baiklah, review ini akan saya mulai dengan bismillah. Exhuma bukan sekedar film horror yang menjual jumpscare ala-ala gitu, tetap ada sisi mengejutkan yang yah cukup bisa membuat duduk para penonton menjadi gelisah. Jujur, waktu nonton ini ada perasaan gelisah yang lebih ke greget untuk fast forward ke scene berikutnya. Jika dibandingkan dengan The Wailing (2016), Exhuma masih jauh lebih mudah untuk dimengerti jalan ceritanya. Siapa yang pernah kepikiran untuk jadiin film horror berbasis sejarah Negara? Untuk mengerti alur cerita film ini, setidaknya kita harus paham dulu mengenai sejarah kelam Korea dengan Jepang.   Dari awal film dimulai, semua scene masih terasa biasa saja, tidak banyak jumpscare namun setiap scene-nya berhasil menyampaikan bahwa ‘ini lo

MOVIE REVIEW - JOHN WICK : CHAPTER 4

                                            JOHN WICK : CHAPTER 4 “Aksi Laga Indah, Persembahan Terakhir (?) Jonathan Wick”               Rasanya penantian saya menanti John Wick : Chapter 4 ini sangat terbayar tuntas. Selama 2 jam 49 menit, saya disuguhi aksi laga menakjubkan dengan latar belakang sinematografi yang sangat indah. Seperti melihat parade atau pameran sinematografi, sehingga sangat disarankan untuk ditonton langsung di layar bioskop untuk hasil yang memuaskan.             Jika saja John Wick ini adalah sebuah teks soal ujian, maka pertanyaan yang muncul adalah ‘Berapa sisa nyawa John Wick?’             Sudah lama menunggu sampai ditunda masa penayangan, Saya sama sekali tidak menonton trailer John Wick : Chapter 4. Demi tidak menaikkan atau menurunkan ekspetasi saya saat menontonnya nanti. Ternyata hasilnya ‘wow’ ‘wow’ ‘wow’ sepanjang film. Saya terpukau sepanjang film dengan aksi laga, cerita hingga ke akting para pemainnya.             Saya tahu bahwa Donni

Hati-Hati di Jalan

             a short story inspired by Tulus' song.                  Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya. “Ga usah, cuma kena dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,” lanjutnya. “Biasanya kan lo si sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang. “Makanya itu, gak ketebak banget cuacanya.” “Sama kayak lo,” lelaki itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.             Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya yang berdering. “Halo? Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya yang fokus menyetir. “Aku