Langsung ke konten utama

Di Batas Waktu


(Ilustrasi)

Perlahan Raline memasuki gedung itu. Sebuah pertunjukan orkestra yang sudah lama ia nantikan dilaksanakan di dalam gedung tersebut. Tak lama setelah ia duduk di bangku yang sudah dipesan khusus untuknya, lagu pertama pun langsung dimainkan.

Alunan musik yang sendu, sanggup membuat beberapa penonton menitikkan air matanya. Termasuk Raline, hanya saja ia tidak terfokus pada penyanyi dan musik yang sedang mengalun. Tatapannya jatuh pada bangku kosong di barisan para pemain biola. Berikut tetesan air matanya jatuh tepat pada sebuah foto yang ada dalam genggamannya.
~~~
Satu bulan sebelumnya....
Diam-diam, Raline melihat ke luar jendela kelasnya. Hujan begitu deras, ia hanya bisa berdecak kesal sambil menggenggam erat payung birunya.
“Kenapa lo?” Raline menoleh dan tersenyum pada Nia, teman sekelasnya.
“Hujan.”
“Kakek-kakek rabun juga tahu kalo di luar lagi hujan,” balas Nia. “Lo mikirin anak SMA tadi ya? Hayo loh! Naksir kan lo sama tuh anak,” lanjut Nia yang langsung mendapat tatapan sinis dari Raline.
“Gue? Naksir anak SMA? Aduh maaf deh, gue gak kayak lo yang hobi sama brondong,” omel Raline.
“Iya-iya! Gitu aja sewot!”
Raline hanya diam saja, rasa khawatirnya berubah menjadi rasa kesal. Ia langsung ingat pada sosok pelajar SMA yang selalu mengikutinya. Pelajar laki-laki itu bernama Daniel, muda, pemain orkestra, dan pendiam. Berbeda jauh dengan Raline yang merupakan mahasiswi tingkat akhir, aktivis kampus dan boyish.
~~~

Buru-buru Raline melangkahkan kakinya, ia tahu Daniel sudah menunggunya di pintu utama kampusnya. Hujan masih mengguyur jalanan, dan Daniel menunggunya, masih dengan seragam SMA-nya dan tanpa payung.
“Raline!”
Daniel, laki-laki itu mencoba berlari mengejar sosok Raline, namun dengan cepat Raline sudah hilang dari pandangannya. Daniel mengehela nafasnya, tampak guratan kecewa di wajahnya. Tapi ia langsung mengerutkan keningnya kala merasa hujan tak lagi menghujam kepalanya, seketika ia langsung menoleh ke belakang.

“Lain kali kalau mau bertindak bodoh, jangan sampai gue tahu.”
Raline hanya bisa mendengus kesal lalu memberikan payung birunya pada Daniel. Ia lalu berbalik, melangkah pergi meninggalkan Daniel.

“Lo tahu? Gue seneng banget, ternyata lo perduli sama gue!” ucap Daniel yang kini sudah menyamai langkahnya dengan Raline.
“Gue udah kasih payung, jadi sekarang lo pulang sana,” ucap Raline sambil menyeka air hujan yang mengalir di wajahnya.
“Lo kehujanan, jadi kita pulang bareng aja.”
“Gue kasih payung itu supaya lo gak kehujanan.”

Daniel tidak memperdulikan omelan Raline, ia malah mengikuti langkah Raline dan berusaha agar payung itu kembali melindungi perempuan itu dari air hujan.
Raline hanya bisa diam sambil sesekali melihat ke arah Daniel yang bersikeras agar bisa pulang bersamanya. Rumahnya dengan rumah Daniel hanya berbeda satu kompleks saja. Awalnya Raline sama sekali tidak mengenal Daniel. Daniel sendiri mengenal Raline dan mengejarnya sampai sekarang karena pada saat itu Raline tak sengaja melemparkan bola basket ke arahnya.

~~~

“Hujannya udah berhenti, jadi lo pulang sana,” ucap Raline saat ia dan Daniel tiba di blok Daniel.
Daniel tampak diam saja sambil melihat payung biru milik Raline yang masih digenggamannya.
“Gue mau ngomong sesuatu.”
Raline yang hendak pergi, perlahan menoleh menatap Daniel. “Apa?” tanyanya.
“Gue mau lo jadi pacar gue!”
Raline terdiam untuk beberapa saat, berusaha memastikan bahwa pelajar SMA yang sedang dihadapannya sekarang sedang bercanda. Namun sedetik kemudian malah Raline yang tertawa, memancing Daniel untuk tertawa juga. Bukannya tertawa, Daniel malah semakin menatap dalam Raline.

“Lo serius?” tanya Raline kini setelah menghentikan tawanya. “Daniel lo masih muda, ada banyak cewek muda atau seumuran lo di luar sana yang nunggu untuk lo tembak perasaannya. Kenapa harus gue yang lebih pantes jadi kakak lo?” lanjut Raline.
“Umur itu cuma angka, dewasa itu pilihan. Gue memilih lo karena gue yakin, gue dewasa dalam memilih mana yang pantas untuk gue,” jawab Daniel. “1 bulan! Gue minta waktu lo 1 bulan aja untuk gue!” lanjut Daniel.

Raline merasa kehabisan kata-kata, ia bingung harus berkata apa lagi terlebih Daniel yang masih manatapnya menunggu jawaban. “Gue sibuk, ada jadwal bimbingan skripsi. Bye~” ucap Raline buru-buru berbalik meninggalkan Daniel.
“Gue gak akan pergi dari sini sebelum lo kasih gue jawaban!” ucap Daniel.
“Terserah,” balas Raline masih tetap melangkah pergi sampai Daniel tak lagi bisa melihatnya.
Belum jauh dari tempat Daniel menunggu, Raline tampak berpikir. Jika Daniel saja bisa menunggu berjam-jam di kampusnya sampai terguyur hujan, maka bukan tidak mungkin Daniel berbuat lebih nekat.

Raline langsung berbalik berlari menuju ke tempat Daniel, benar saja setibanya di sana, Daniel masih menunggunya dengan payung biru miliknya. Perlahan Raline mendekati Daniel yang kini menatapnya penuh harap.
“Gue gak bilang kalau gue terima perasaan lo. Cuma besok siang gue tunggu lo di lapangan basket deket kompleks gue jam 2 siang, gak boleh telat,” ucap Raline lalu buru-buru pergi meninggalkan Daniel yang terdiam tak percaya.
Masih belum jauh dari tempat Daniel tadi, Raline bisa mendengar teriakan Daniel yang sangat senang. Raline menoleh dan diam-diam tersenyum geli.

~~~

Raline turun dari motornya sambil membawa bola basketnya, ia terkejut saat melihat Daniel yang sudah menunggunya dengan pakaian biasa tanpa seragamnya.
“Lo kok udah disini? Ini kan masih jam 1, dan lo harusnya masih di sekolah?” tanya Raline sambil menghampiri Daniel yang tersenyum padanya.
“Hari ini guru gue pada mau rapat, jadi pulang cepet,” jawab Daniel. “Lo mau nyuruh gue ngapain kesini?” tanya Daniel.

“Sebelum perasaan lo gue terima, lo harus main basket bareng gue.”
“Basket? One on one? Aneh,” ucap Daniel. “Tapi ok deh. Kalo gue duluan cetak skor 10 lo berhak terima perasaan gue,” lanjut Daniel.
Raline menganggukkan kepalanya. “Tapi kalo gue duluan yang cetak skor 10 lo harus jauh-jauh dari hidup gue,” lanjut Raline yang disambut anggukan dari Daniel.
Daniel tiba-tiba merebut bola basket Raline dari tangannya dan berlari memasukkan bola ke dalam ring basket. Raline mengerang kesal dan mengejar Daniel yang berkali-kali memasukkan bola basket ke dalam ring.
~~~

Daniel tampak ngos-ngosan akibat bermain basket dengan Raline. Ia menoleh pada Raline yang menatapnya kesal, seulas senyum dipaksakan Daniel untuk Raline.
“Gimana? Gue cetak skor duluan.... jadi.... perasaan gue lo terima kan?” tanya Daniel sambil mengatur nafasnya.

Raline memutar bola matanya sambil memberikan botol minumannya pada Daniel. “Lo cuma main gak sampe satu jam, tapi udah kayak hampir mau mati gitu,” ucap Raline.
Daniel mengambil botol minuman Raline dan lalu meminumnya hingga habis. “Jadi.... gimana?” tanyanya lagi.
Raline menghela nafasnya. “1 bulan doang kan? Oke gue terima.”

Daniel tersenyum sangat dalam dan tiba-tiba memeluk Raline sangat erat. Raline menatapnya tak percaya.
“Lo tau? Mungkin lo mengira gue tahu lo itu waktu lo sendiri gak sengaja lempar bola basket lo ke arah gue. Kalau memang gitu, berarti lo salah. Karena gue tahu lo sejak lama,” ucap Daniel.
“Kapan?” tanya Raline tanpa bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
“Pertama kali waktu lo pindah ke sini, selanjutnya gue cuma bisa ngikutin lo. Akhirnya gue memberanikan diri untuk sengaja kena lempar bola basket lo supaya tahu siapa nama lo dan deket sama lo.”
Raline terdiam mendengarnya dan sesaat ia tersenyum. Kini, giliran Daniel yang terdiam saat melihat senyuman Raline.
“Gue janji. Selama 1 bulan nanti gue akan buat momen terindah yang gak akan pernah bisa lo lupakan. Gue janji sampai di batas waktu nanti,” ucap Daniel tanpa sadar.
“Coba aja kalo bisa,” balas Raline.

~~~

Raline terduduk diam sambil menghadap keluar jendela kamarnya. Sambil memegang kalendar yang tercoret oleh spidolnya hari demi hari. Ini adalah Minggu kedua ia berpacaran dengan Daniel, dan ada banyak hal yang dilaluinya bersama dengan Daniel, hal-hal yang membuat Raline tersenyum sendiri jika mengingatnya.
Raline melihat sebuah kotak kecil cantik berwarna pink. Sebuah tiket konser dan pigura cantik yang menghiasi fotonya bersama dengan Daniel. Senyuman langsung muncul di wajah Raline saat melihat isi kotak tersebut. Daniel benar-benar berhasil membuatnya tak bisa melupakan moment kebersamaan mereka, sampai Raline sadar batas waktunya sudah hampir dekat.  

~~~

Sudah 2 hari ia tidak melihat keberadaan Daniel. Biasanya, ketika Raline sedang ada jadwal kuliah, maka Daniel akan menunggunya hingga selesai. Biasanya juga, Daniel akan lebih dulu mengabari Raline melalui SMS, tapi kini Daniel tanpa kabar bahkan Raline sendiri sudah beberapa kali menghubungi nomor Daniel, namun tetap tidak ada respon.
“Murung banget sih. Kenapa? Daniel masih belum ngasih kabar?” tanya Nia begitu tiba di samping Raline.
“Belum. Mungkin dia lagi sibuk latihan sama grup orkestranya,” jawab Raline.
“Mungkin juga sih,” ucap Nia. “Eh nanti lo ikut gue kan jenguk Irfan di Rumah Sakit?” tanyanya  yang disambut anggukan dari Raline.

~~~

“Line, gue ke toilet bentar ya? Lo di sini aja,” ucap Nia langsung pergi meninggalkan Raline di lorong Rumah Sakit.
Raline hanya mendengus kesal dan kemudian duduk di bangku kosong sambil memperhatikan area sekitarnya. Tatapannya langsung tertuju pada sosok yang sangat dikenalnya, ia langsung menghampiri orang itu.
“Tante Tia?” panggilnya langsung. Orang itu menoleh dan tampak sedikit terkejut melihat kedatangan Raline.
“Raline? Kamu ngapain di sini Nak?” tanya perempuan paruh baya itu.
“Raline lagi jenguk temen di sini. Tante sendiri?” tanya Raline kini.
Perempuan paruh baya itu hanya diam dan kemudian memeluk Raline sambil menangis. Seketika perasaan tak menentu langsung menghinggapi Raline, hingga membuat gumpahan air mata meleleh melalui matanya.

~~~

Raline masih sangat mengenali orang itu, walau ada banyak alat bantu yang membuatnya  masih bisa bertahan. Raline bisa menahan suaranya, tapi air matanya tak ada yang sanggup membendung.

“Sudah lama Daniel mengidap penyakit jantung. Tante malah sangat bersyukur sekali ia bertahan melebihi apa yang ditargetkan oleh dokter. Tapi, melihat kondisinya yang begini tante cuma bisa belajar ikhlas.”

Raline menangis tertahan sambil menggenggam erat tangan Daniel yang terasa hangat. Ia ingat saat ia menyuruh Daniel bermain basket dengannya, andai ia tahu itu bisa mempengaruhi kehidupan Daniel, ia pasti tidak akan melakukan hal bodoh itu.

~~~

Hari itu tiba, hari dimana Daniel meninggalkan Raline tidak tepat pada batas waktunya. Lantai yang bersih itu seketika kotor karena tumpahan makanan yang dibawa oleh Raline, yang hanya bisa didengar Raline kala itu adalah suara isak tangis yang menderu.

~~~

Pertunjukan itu sudah berakhir, namun Raline masih saja menatap kosong bangku para pemain orkestra. Raline menangis sebisa mungkin tanpa mengeluarkan suaranya. Perasaan menyesal itu kembali muncul dan kini dalam taraf yang lebih besar. Hanya saja, kali ini perasaan menyesal itu muncul dengan perasaan cinta yang akhirnya diakuinya.

~~~

       THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Movie Review : [Exhuma : Menggali Dendam Kelam Sejarah Negara ]

Pertama-tama setelah menonton Exhuma, yang ingin saya ucapkan adalah Kim Goeun di layar bioskop lebih cakep daripada di layar ponsel. Kayak bingung aja gitu mau kagum sama visual atau akting dia yang sama-sama gong banget itu. Baiklah, review ini akan saya mulai dengan bismillah. Exhuma bukan sekedar film horror yang menjual jumpscare ala-ala gitu, tetap ada sisi mengejutkan yang yah cukup bisa membuat duduk para penonton menjadi gelisah. Jujur, waktu nonton ini ada perasaan gelisah yang lebih ke greget untuk fast forward ke scene berikutnya. Jika dibandingkan dengan The Wailing (2016), Exhuma masih jauh lebih mudah untuk dimengerti jalan ceritanya. Siapa yang pernah kepikiran untuk jadiin film horror berbasis sejarah Negara? Untuk mengerti alur cerita film ini, setidaknya kita harus paham dulu mengenai sejarah kelam Korea dengan Jepang.   Dari awal film dimulai, semua scene masih terasa biasa saja, tidak banyak jumpscare namun setiap scene-nya berhasil menyampaikan bahwa ‘ini lo

MOVIE REVIEW - JOHN WICK : CHAPTER 4

                                            JOHN WICK : CHAPTER 4 “Aksi Laga Indah, Persembahan Terakhir (?) Jonathan Wick”               Rasanya penantian saya menanti John Wick : Chapter 4 ini sangat terbayar tuntas. Selama 2 jam 49 menit, saya disuguhi aksi laga menakjubkan dengan latar belakang sinematografi yang sangat indah. Seperti melihat parade atau pameran sinematografi, sehingga sangat disarankan untuk ditonton langsung di layar bioskop untuk hasil yang memuaskan.             Jika saja John Wick ini adalah sebuah teks soal ujian, maka pertanyaan yang muncul adalah ‘Berapa sisa nyawa John Wick?’             Sudah lama menunggu sampai ditunda masa penayangan, Saya sama sekali tidak menonton trailer John Wick : Chapter 4. Demi tidak menaikkan atau menurunkan ekspetasi saya saat menontonnya nanti. Ternyata hasilnya ‘wow’ ‘wow’ ‘wow’ sepanjang film. Saya terpukau sepanjang film dengan aksi laga, cerita hingga ke akting para pemainnya.             Saya tahu bahwa Donni

Hati-Hati di Jalan

             a short story inspired by Tulus' song.                  Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya. “Ga usah, cuma kena dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,” lanjutnya. “Biasanya kan lo si sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang. “Makanya itu, gak ketebak banget cuacanya.” “Sama kayak lo,” lelaki itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.             Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya yang berdering. “Halo? Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya yang fokus menyetir. “Aku