a short story by Fujama
Namanya Liora, sedang berjalan namun dengan langkah yang
terhitung cepat. Wajahnya tampak was-was sambil melihat secara acak ke arah
sekitarnya, seperti mencari seseorang. Dia berhenti melangkah bersamaan dengan
pandangannya yang menuju ke satu arah, seorang pria yang sedang dalam posisi
tidur didampingi dengan seorang dokter dan juga suster.
“Dokter....”
“Anda?”
“Liora
William, someone calling me by phone.”
Dokter tersebut langsung merogoh sakunya sambil
mengeluarkan ponsel milik pria yang sedang tertidur, Ia berikan kepada Liora
yang tampak terpaksa menerimanya.
“Seseorang yang tidak
sengaja bertemu dengannya melihatnya terduduk kesakitan hingga pingsan di
jalan,” jelas sang dokter.
“Kenapa meneleponku?”
“Penolongnya bilang,
Andrew menyuruhnya untuk menekan speed dial
number 1,” jawab dokter tersebut. “Apakah anda....”
“Temannya, aku
temannya.”
~~~
Pukul 7 malam, berarti sudah ada 3 jam Liora duduk sambil
melihati wajah lelaki yang masih tertidur, entah karena penyakitnya atau
pengaruh obatnya. Andrew Clark harusnya masih menjadi kekasihnya jika setahun
yang lalu ada yang menghalangi mereka untuk memutuskan hubungan. Liora sempat
bersumpah, siapapun akan menderita perlahan jika memiliki hubungan istimewa dengan penyanyi
seperti Andrew, apalagi yang menghalangi selain menjadi terkenal? Ya didekati
banyak wanita.
“Sudah bangun?”
“Maafkan Aku.”
Liora menghela nafas, setidaknya lelaki itu sadar juga.
“Aku sudah menelepon
manajer-mu, dia akan segera datang dan sekarang masih di jalan,” ucap Liora.
“Terima kasih.”
Sambil memandangi layar ponsel milik Andrew, Liora
menggigit bibir bawahnya, ingin bertanya sesuatu namun ada rasa ragu.
“Tanyakan saja,” Liora
menoleh dan melihat Andrew tengah melihatinya sejah tadi.
“Kenapa?”
“Apa?”
“Waktu kita masih
bersama, Kamu gak pernah mau menunjukkan dengan nama apa aku di ponselmu,” ucap
Liora tanpa melihat wajah Andrew lalu ia menunjukkan layar ponsel Andrew yang
berisi kontak milik Liora sendiri.
More than 911
Andrew melihat layar ponselnya sendiri dan tersenyum
pahit, setahun yang lalu ia punya cara sendiri untuk menunjukkan nama kontak
untuk kekasihnya sendiri, tapi siapa yang bisa menebak, kalau ia harus
menjelaskan malah setelah putus hubungan.
“I
never be kidding when I said I need you 365 24/7,” ucap Andrew setelah sebelumnya menarik nafas
panjang. “You’re my emergency number whenever
I get stress because of my f**king bad schedule,” sambungnya.
“Why?”
“Liora,
how can I say ‘i love you’ to another woman when you’re the only one my emergency
number? I need you.”
Bayangan masa lalu di mana Liora yang tengah beristirahat
dari shift kerja paruh waktu yang menurutnya gila, namun masih menyempatkan
diri mengangkat deringan dari Andrew yang sibuk menggelar tur konser di
beberapa kota. Mulai dari mendengar keluh kesah hingga menceritakan kejadian
lucu, hal yang biasa dalam hubungan itu
menurut Liora terasa menyesakkan jika diingat kembali.
“Manajer-mu sudah di
lobi, Aku akan bergegas pergi.”
Liora meletakkan ponsel Andrew di sisi lain tempat tidur
dan merapikan selimut yang dikenakan oleh Andrew. Sudah saatnya ia pergi, dan
harusnya memang tidak pernah lagi bertemu dengan Andrew.
“There
is no chance for me?” tanya Andrew
yang menahan pergelangan tangan Liora.
“After
all this time, always no.”
“Why?”
“Aku selalu mendengarkanmu,
tapi apa pernah terlintas di benakmu untuk mendengarkanku?”
Andrew perlahan melepaskan genggamannya di pergelangan
tangan Liora, harusnya ia sadar, kesalahannya di masa lalu tidak mungkin bisa
memberikan kesempatan kedua.
“Perbaiki pola makanmu,
dokter bilang ada masalah di lambungmu,” ucap Liora. “Aku pergi,” tutupnya yang
langsung bergegas pergi meninggalkan Andrew dengan senyuman di wajahnya.
~~~
2018
Burger berukuran
mini itu tampak tidak tersentuh oleh Liora, pandangannya fokus melihati layar
ponselnya. Entah karena sudah kenyang atau malah sudah bosan dengan burger yang
hampir setiap hari ia lihat dan makan di saat waktu senggangnya.
“Mom in the hospital, she’s ok, see
you there. Xoxo” – Lila.
Liora menarik nafasnya, berusaha
mencoba baik-baik saja setelah menerima pesan dari adiknya. Ibunya sudah lama
sakit, sudah berkali-kali keluar-masuk rumah sakit, berkali-kali juga Liora
berharap tidak lagi Ibunya menginjak lantai rumah sakit. Badannya menunduk,
kedua telapak tangan menutup wajahnya,
ia menangis, burger nikmat itu memang sudah tidak berharga sejak awal.
Ponselnya
berdering.
“Halo
Andrew?” sapa Liora.
“Penonton
konser di Boston lebih banyak dari minggu lalu waktu di Chicago,” ..... “Panitia
penyelenggara sedikit mengesalkan tapi beruntung mereka bisa mengatasinya
sendiri,” ..... “Suasana konser kali ini juga sangat meriah,” .....
“Andrew,
Lila bilang Ibuku.....”
“Tau
gak? Ada kejadian lucu, Aku jadi tukang foto manajer-ku – Richard,” ..... “Sepertinya
popularitasku akan tersaingi dengan manajer-ku sendiri,” ..... “Tadi mau bilang
apa?”
Liora terhenyak, hanya bisa menghela
nafas dengan wajah yang kecewa. Apa arti mendengarkan jika tidak pernah
didengar, pikir Liora kala itu.
“Aku
harus kembali bekerja, selamat bersenang-senang.”
Liora mematikan ponselnya, ia memang
benar-benar harus kembali bekerja.
~~~

Komentar
Posting Komentar