I wrote this story based on my life story. I wrote it while listening to IU's song "My Old Story."
Hanya
ada keheningan, seorang wanita paruh baya memandang ke arah 2 orang putrinya.
Tatapannya yang lemah itu, pernah berhasil menakuti masa kecil kedua putrinya.
Tetapi kini, bahkan tatapan lemah wanita paruh baya itu tak mampu membuat kedua
putrinya untuk kembali memandangnya.
“Sakila, ibu mohon tinggal sehari
dulu ya disini,” ucap wanita paruh baya itu memandang ke salah 1 putrinya yang
sejak tadi sibuk dengan ponselnya.
“Ga bisa bu, besok jam 11 aku
udah harus flight ke Jakarta ada
meeting sama klien,” jawab sang putri yang masih enggan menatap wajah sang Ibu.
“Tiketnya apa ga bisa dijadwal
ulang?” tanya sang ibu yang kini mendapat tatapan kesal dari sang putri.
“Kila bisa batalin tiketnya bu,
tapi kesempatan untuk ketemu klien kali ini ga datang 2 kali bu,” jawab Sakila
yang berusaha meredam kekesalannya.
“Mbak, lo bisa gak sih jangan
egois? Dari dulu ga pernah berubah!”
Sakila
menghela nafasnya dan meletakkan ponselnya begitu saja, lalu memandang kesal
sang adik yang duduk persis bersebelahan dengannya.
“Egois? Harus kamu tau ya Kina,
sifat egois mbak ini yang biayain separuh hidup kamu!”
“Sudah, Kila kamu pulang aja
besok gapapa,” ucap sang Ibu sebelum pertengkaran semakin memanas.
Sakila
bangkit dan beranjak untuk meninggalkan Ibu dan adiknya. Dia berbalik sejenak,
rasa menyesal karena sudah mendahulukan sifatnya atas segalanya.
“Mbak, yang sakit hati karena
tindakan Bapak itu ga cuma mbak. Kina bahkan Ibu jauh lebih sakit mbak,” suara
Sakina terasa tercekat terlebih saat sang Ibu menatapnya seolah menyuruhnya
untuk berhenti berbicara.
“Sudah. Besok ibu yang jemput
bapak,” ucap sang Ibu yang langsung
bangkit dan mendorong pelan Sakila untuk segera menuju kamarnya.
Sakila menahan sang Ibu dan
menatapnya dengan pandangan berkaca-kaca. “Kina, kalau waktu bisa diputar, mbak
memilih untuk gak mau tau apa-apa soal bapak. Mbak memang sakit hati bahkan
sampai sekarang karena tindakan bapak. Tapi sebelum semua itu terjadi, kamu
dapat semua perhatian Ibu, dan mbak berharap untuk dapat perhatian serupa dari
bapak. Tapi yang mbak dapatkan itu luka,” ucap Sakila dengan air mata yang
sudah menetes.
“Sakila kamu ngomong apa?” ucap
sang Ibu yang mengelus pelan punggung Sakila.
“Ibu memang sayang sama Sakila,
tapi itu ga setara bu. Semua materi yang Kila kasih, bahkan masih belum bisa
beli kasih sayang yang besar Ibu ke Kina.”
“Kila udah ya nak,” ucap sang
Ibu.
“Waktu tahu bapak selingkuh dari
Ibu, rasanya dunia Kila ikutan hancur bu. Laki-laki yang Kila harapkan kasih
sayangnya bisa lebih besar dari Ibu bahkan tega nyakitin kita bertiga! Kila
juga tersiksa Bu! Kila gamau jauh-jauh dari Ibu dan Kina, tapi Kila gak kuat
kalo harus hidup bareng bapak juga!”
Sakila
menangis histeris, sang ibu dan adiknya hanya bisa membuang pandangan seolah
ingin menyembunyikan tangisannya juga.
“Bahkan setelah semua rasa sakit
yang diciptakan bapak, Kila ga pernah dapat kata maaf bu,” ucap Sakila yang
langsung mendapat pelukan dari sang Ibu.
“Maaf kalau ini membasahi luka
kamu nak, tapi jauh di dalam lubuk hati, Ibu minta maaf ya nak.”
Keheningan
dan rasa canggung yang sejak awal tercipta itu, kini berubah menjadi deru
tangis. Kina bahkan tak berani untuk melihat Ibu dan kakaknya yang menangis
sambil terduduk.
~~~
Sakila
duduk termenung di kursi bandara, menanti panggilan untuk memasuki pesawat yang
akan membawanya pulang ke Jakarta, rumah keduanya. Tepat pukul 7 pagi tadi, ia
izin pamit kepada Ibu dan adiknya. Sampai akhir, Sakila memilih untuk menjadi
egois.
Sambil
berjalan menuju gate, ia melangkah dan
melihat-lihat isi ponselnya. Satu pesan masuk, langkahnya terhenti, matanya
kembali berkaca-kaca. Pesan itu berisi foto Ibu, adik dan juga ayahnya.
Berulang kali Kila memperbesar foto yang dikirimkan oleh Kina padanya.
Entah
sejak kapan tangan yang dulu kuat untuk menggendong dirinya dan Kina sekaligus
terlihat sangat kurus dan rapuh. Kaki yang dulu kuat untuk bertugas dari pagi
sampai siang demi dirinya dan Kina bahkan lebih rapuh dari yang terlihat.
Bahkan wajah yang dulu tak pernah menampakkan raut muram, kini terlihat
berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Sakila
memegang dadanya dan berusaha menahan tangisnya. Sudah lama sekali ternyata ia
tidak memperhatikan Ayahnya. Tangisannya pecah, begitu Kina mengirim 1 buah
video berisi Ayahnya yang berbicara tidak jelas karena penyakitnya.
Seolah
tak peduli dengan tatapan orang di sekitarnya, Kila tetap menangis sambil
memandangi video yang dikirim oleh Kina. Ayahnya memang berbicara tidak jelas,
tapi Kila tahu apa yang diucapkan oleh Ayahnya.
Hal
yang sudah lama ia nantikan dan tunggu selama ini, ternyata hanya membasahi
lukanya dan semakin menyakitinya. Kila mendekap erat ponselnya yang masih
memutar video Ayahnya yang meminta maaf kepadanya.
Lukanya
memang basah kembali, tetapi untuk terakhir kalinya. Setidaknya itu harapan
Kila.
~~~

Komentar
Posting Komentar