Langsung ke konten utama

[CERPEN] - LIMIT

 


This story just happen when I listening to Limit by Yerin Baek


Jalanan terasa lengang, tidak seperti biasa yang penuh dengan riuh klakson berbagai kendaraan. Lyane menghela nafasnya seraya memasuki minimarket yang menjadi langganannya saat pulang bekerja. Seolah rumah sendiri, ia mengambil sebotol minuman soda dan juga roti.

            Sambil duduk di kursi yang disediakan pihak minimarket, entah sudah yang keberapa kali ini perempuan itu menghela nafasnya.

            Lulus dengan predikat cum laude di bidang Ilmu Komunikasi dengan harapan bekerja di bidang penyiaran, nyatanya memang hanya menjadi harapan Lyane saja. Kini, hidupnya terjebak sebagai staf keuangan di kantornya, suatu hal yang sangat jauh sekali dari apa yang ia harapkan.

            Baru saja hendak menyumbat telinganya dengan musik, seseorang datang menghampirinya seraya melemparkan selembar undangan.

“Diana’s wedding, tommorow.”

            Lyane menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencoba mengingat apakah ia tidak sibuk untuk besok saja.

“Well, I’m free.”

            Lelaki di hadapannya masih memperhatikannya, seolah sedang membaca pikiran Lyane.

“What?”

“Are you ok? Is there any problem at work?” tanya lelaki itu sambil meminum begitu saja minuman soda milik Lyane.

“Everyday is a problem,” jawab Lyane.

“Lyane, you ... seems not good.”

            Lyane hanya diam dan pandangannya menerawang ke arah jalanan yang sore itu sedang lengang, seolah memahami suasana hatinya yang tidak tenang.

“I’m confused.”

            Lelaki itu masih memandangi Lyane, perempuan yang dikenalnya sebagai pribadi riang saat masih mengeyam bangku pendidikan, dan kini bagai cangkang kerang yang kosong.

“You can keep it, if it feels so hard,” ucap lelaki itu begitu melihat sepasang mata milik Lyane mulai berkaca-kaca.

“Can I be happy?”

“What?”

“Everybody seems happy with their own choices, they are married, go vacation, and got anything that they want.”

            Lyane masih dengan pandangan menerawangnya, air matanya sudah tumpah. Kali ini ia sudah tidak sanggup untuk menahannya.

“Lyane don’t  you ever try ...”

“Carl, is all I want too much to ask?” potong Lyane yang kini berbalik memandangi lelaki di sampingnya bernama Carl. “All I want just got my dream job, loving by the loved one and be happy with my own choices,” lanjutnya yang kini sudah menangis sambil menutup mata dengan kedua tangannya.

“But seems that anything ... everything won’t let it happens to me!”

            Carl hanya bisa diam melihat teman dekatnya itu kini menangis. Carl hanya bisa diam karena memang tidak ada yang bisa menandingi patah hati karena ekspetasi terhadap diri sendiri.

“Is it something wrong with me?”

“No, it is just an expectation,” ucap Carl. “What do you expect if you can’t get all of your expectations? Just cry and let it go,” lanjutnya.

“I’ve been reaching my limit, I can’t.”

“Yourself is yours, don’t  you ever try to compare to anyone else’s,” ucap Carl yang kini menatap Lyane dengan tegas. “First of all, love yourself, you are loved.”

Lyane masih menangis namun kini dengan pandangan menunduk dan berkali-kali menyeka rambutnya ke belakang telinga. Bagaimana mencintai dirinya sendiri saja, perempuan itu sudah lupa. 





























Komentar

Postingan populer dari blog ini

MOVIE REVIEW - JOHN WICK : CHAPTER 4

                                            JOHN WICK : CHAPTER 4 “Aksi Laga Indah, Persembahan Terakhir (?) Jonathan Wick”               Rasanya penantian saya menanti John Wick : Chapter 4 ini sangat terbayar tuntas. Selama 2 jam 49 menit, saya disuguhi aksi laga menakjubkan dengan latar belakang sinematografi yang sangat indah. Seperti melihat parade atau pameran sinematografi, sehingga sangat disarankan untuk ditonton langsung di layar bioskop untuk hasil yang memuaskan.             Jika saja John Wick ini adalah sebuah teks soal ujian, maka pertanyaan yang muncul adalah ‘Berapa sisa nyawa John Wick?’             Sudah lama menunggu sampai ditunda masa penayangan, Saya sama sekali tidak menonton trailer John Wick : Chapter 4. Demi tidak menaikkan atau menurunkan ekspetasi saya saat menontonnya nanti. Ternyata hasilnya ‘wow’ ‘wow’ ‘wow’ sepanjang film. Saya terpukau sepanjang film dengan aksi laga, cerita hingga ke akting para pemainnya.             Saya tahu bahwa Donni

Movie Review : [Exhuma : Menggali Dendam Kelam Sejarah Negara ]

Pertama-tama setelah menonton Exhuma, yang ingin saya ucapkan adalah Kim Goeun di layar bioskop lebih cakep daripada di layar ponsel. Kayak bingung aja gitu mau kagum sama visual atau akting dia yang sama-sama gong banget itu. Baiklah, review ini akan saya mulai dengan bismillah. Exhuma bukan sekedar film horror yang menjual jumpscare ala-ala gitu, tetap ada sisi mengejutkan yang yah cukup bisa membuat duduk para penonton menjadi gelisah. Jujur, waktu nonton ini ada perasaan gelisah yang lebih ke greget untuk fast forward ke scene berikutnya. Jika dibandingkan dengan The Wailing (2016), Exhuma masih jauh lebih mudah untuk dimengerti jalan ceritanya. Siapa yang pernah kepikiran untuk jadiin film horror berbasis sejarah Negara? Untuk mengerti alur cerita film ini, setidaknya kita harus paham dulu mengenai sejarah kelam Korea dengan Jepang.   Dari awal film dimulai, semua scene masih terasa biasa saja, tidak banyak jumpscare namun setiap scene-nya berhasil menyampaikan bahwa ‘ini lo

Hati-Hati di Jalan

             a short story inspired by Tulus' song.                  Perempuan itu masuk ke dalam mobil sambil menepuk pelan lengannya yang sempat terkena air hujan. Di sebelahnya seorang laki-laki sudah mengulurkan handuk kecil untuknya. “Ga usah, cuma kena dikit doang,” ucap si perempuan. “Gak ketebak banget bakal hujan gini,” lanjutnya. “Biasanya kan lo si sedia payung sebelum hujan,” balas si lelaki sambil melempar handuk kecil itu lagi ke kursi belakang. “Makanya itu, gak ketebak banget cuacanya.” “Sama kayak lo,” lelaki itu langsung mendapat cibiran dari si perempuan di sebelahnya.             Perempuan itu melihat ke arah luar jendela mobil dan menghela nafas lega, karena ia tidak terkena guyuran hujan yang kala itu memang deras sekali. Ia merogoh tasnya dan langsung mengangkat panggilan ponselnya yang berdering. “Halo? Iya, gapapa aku udah di jalan juga ... iya gapapa sayang ... aku?” perempuan itu melirik ke arah lelaki di sebelahnya yang fokus menyetir. “Aku