Seseorang pernah
berkata bahwa dunia itu kecil, sepertinya aku setuju dengannya. Dunia yang
sedang aku dan kalian injak saat ini sangat kecil, saking kecilnya aku bahkan
bisa bertemu dengan siapa saja yang pernah aku kenal, termasuk masa laluku.
Sekarang aku sedang menghadapinya, bertatapan dengan masa laluku.
~~~
“Lun! Temenin gue lah
nanti cari buku.”
Aku yang sedang
membuka pintu kulkas langsung menoleh ke arah Laras yang sibuk menghitung uang
di dompetnya. Seraya mengambil sebotol minuman aku langsung menghampirinya.
“Buku apa?” tanyaku.
“Ada buku udah lama gue
incer,” jawabnya. “Lo kan banyak waktu luang, bisa dong temenin gue,”
lanjutnya.
“Hmm..” ucapku sambil
meminum isi botol.
Aku dan Laras
sudah berteman sudah lama, kira-kira sudah 4 tahun. Aku dan Laras bertemu saat
kami sama-sama sedang berlibur di Jogja dan ternyata Ibu Laras adalah teman
Ibuku. Kami memiliki banyak kesamaan mulai dari hal yang disuka, bahkan yang
dibenci. Saat ini aku bekerja sebagai reporter televisi swasta sedangkan Laras
merupakan seorang pegawai bank swasta terkenal di Indonesia.
~~~
“Minggu depan dia
pulang!”
“Dia siapa?” tanyaku
sambil mengalihkan pandangan dari rak buku kepada Laras yang sumringah melihat
layar ponselnya.
“Bima! Cowo gue,”
jawabnya yang hanya ku respon dengan mengangguk.
“Bagus dong.”
“Janji deh, kali ini
bakal gue kenalin ke lo!” ucapnya.
Aku tahu nama
pacar Laras, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana rupa Bima. Laras juga tidak
pernah bercerita banyak perihal kekasihnya itu. Aku juga tidak harus peduli kan
siapa dan bagaimana rupa pacar Laras.
“Bima kerja apaan sih?”
tanyaku saat kami berjalan mengitari beberapa rak buku.
“Gue bingung sih
jelasinnya gimana, tapi yang pasti dia itu sering tugas ke luar negeri,” jawab
Laras.
“Oh ya?”
“Gue juga sebenernya
udah lama kenal sama dia bahkan sebelum gue kenal sama lo, tapi kita baru jadian sekitar setahunan yang lalu
lah,” jelasnya. “Gue sama Bima kelamaan PDKT nya,” lanjut Laras diiringi tawa
renyahnya.
Aku menelan
ludahku dan tersenyum, berharap semua yang ada di pikiranku adalah salah.
“Oh iya si Aryo lagi
sibuk gak?”
~~~
Malam itu aku langsung turun dari taksi dan masih
mengenakan seragam kerja aku masuk ke sebuah restoran berkonsep sederhana yang
ada di Jakarta. Aku langsung mencari satu sosok yang sudah mendiami satu buah
meja.
“Alun!”
Aku langsung menoleh
dan menghampiri suara yang sangat aku kenal, siapa lagi kalau bukan Laras. Dia
tampak anggun malam itu dan jelas sekali terlihat keceriaan di wajahnya. Saat
di telepon dia bercerita kepadaku bahwa pacarnya yang baru saja kembali dari
Singapura itu sudah melamarnya.
“Maafin guenya lama,
tadi masih ada jadwal liputan,” ucapku setelah tiba di meja yang di pesan
Laras.
“Iya gue tahu lo
wartawan sibuk, duduk.”
Aku duduk dan
tatapanku langsung bertemu dengan seorang pria dengan rambut sedikit gondrong,
kumis dan brewok tipis tampak menyempurnakan bentuk wajahnya. Tebak saja,
lelaki itu Bima.
“Kenalin ini Bima,
calon suamik gue,” ucap Laras sambil merangkul lengan Bima dengan eratnya. “Sayang, ini Alun temen baik aku,” lanjut
Laras memperkenalkanku.
“Bima.”
“Alun,” ucapku sambil
menjabat tangannya dan tersenyum.
Obrolan kami terhenti sejenak saat pelayan mengantar
pesanan yang sebelumnya sudah dipesan oleh Laras dan Bima.
“Aryo mana? Gak jadi
gabung?” tanya Laras.
“Masih ada satu program
yang harus dia produserin, katanya sih dia nyusul kalau cepet kelarnya,”
jawabku.
“Aryo siapa?” tanya
Bima yang sejak tadi menurutku diam saja.
“Aryo itu tunangannya
Alun,” jawab Laras. “2 bulan lagi rencananya mereka bakal menikah,” lanjut
Laras.
~~~
Aku terlonjak
kaget dan mundur selangkah saat Bima ternyata sudah berdiri di depan toilet
yang baru saja aku masuki. Dia terus saja melihatiku seolah menuntut
penjelasan.
“Alun..”
“Toilet cowok di
sebelah sana,” ucapku lalu bergegas pergi namun Bima buru-buru menarik
tanganku.
“Bim, lepasin
sekarang!” desisku namun tak digubris oleh Bima.
“Aku minta maaf,”
ucapnya sambil melepas genggamannya.
Plak!
“Itu jawaban aku.”
“Aku gak butuh jawaban,
aku...”
“Laras itu temen
terbaik yang aku punya, dan kamu itu pria terbrengsek yang pernah aku punya,”
potongku lalu pergi.
~~~
4 Tahun yang lalu....
Aku terduduk diam, pandanganku
terasa kosong. Sambil mengusap cincin yang ada di jemari tanganku aku lalu
menoleh ke arah lelaki yang ada di sampingku. Lelaki yang dalam hitungan bulan
akan segera menjadi suamiku.
“Bima...
kamu bercanda kan?”
Lelaki itu menghela nafasnya dan
malah menoleh ke arah cincin yang masih melekat di jari manisku.
“Aku
gak bercanda,” ucapnya.
Aku menutupi wajahku dengan tanganku sendiri,
mencegah air mataku tumpah ruah begitu saja.
“Bima
sebentar lagi kita menikah dan sekarang kamu mau kita putus.”
Kini Bima sudah berada tepat di
hadapanku, tatapannya terasa iba. Ia mencoba memelukku namun aku langsung
mendorongnya.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Kamu
wanita yang baik, aku gak pantes untuk kamu,” jawabnya. “Waktu di Bandung aku
ketemu satu orang yang mirip sekali sama aku, dan aku...”
“Kamu
kasih ini ke dia, dan jangan pernah sakiti dia kayak kamu sakiti aku,” ucapku
sambil menyerahkan cincin yang sebelumnya melingkar indah di jari manisku.
“Alun....”
“Kalaupun
kita ketemu lagi tanpa sengaja, aku gak akan pernah menganggap kamu pernah ada
di hati aku.”
~~~

Yaaah mbaak, kok gantung? Penasaran lanjutannya euy
BalasHapus