2 Mei 2016
seharusnya ditandai dengan upacara hari pendidikan yang dirayakan oleh seluruh
tenaga pengajar ataupun pelajar yang ada di Indonesia. Dulu gue inget, waktu
masih SMP dan SMA, sekolah gue sibuk merayakannya dengan upacara dan gak jarang
juga ada lomba-lomba kecil. Dan itu menyenangkan.
Tapi di tahun
ini gue merasakan hal sedih, bahagia, haru, dan malu disaat yang bersamaan.
Hari Pendidikan Nasional ini harus ternodai dengan kejadian tragis dan
memalukan untuk kampus gue.
Belum lagi
dengan beberapa kejadian di luar sana yang menurut gue gak kalah sadis dengan
kasus yang ada di kampus gue. Pembunuhan mahasiswa UGM di toilet, pemerkosaan dan
pembunuhan terhadap Yuyun (pelajar SMP) oleh 14 pria, seolah-olah Hardiknas
kemarin itu adalah yang paling ternodai banget menurut gue.
Awalnya gue
memulai hari seperti biasa, pergi pagi masuk kuliah dan izin untuk bisa hadir
dalam acara yang diadakan organisasi gue yang sebenernya ini adalah acara
kerjasama. Seperti biasa, acara pembukaan lancar, bahkan gue dan rekan gue yang
lainnya sempet sibuk dan bingung karena harus nyusun meja dan kursi layaknya
acara ILC (Indonesia Lawyers Club).
Bahkan, di acara
selanjutnya gak terjadi apa-apa, biasa aja. Mereka duduk dan sibuk berdebat.
Sampai akhirnya di tengah acara, ada satu orang cowok dari organisasi internal
kampus gue juga yang keluar. Awalnya gue biasa aja, sampai akhirnya semua pada
sibuk permisi. Ketika acara di tutup barulah gue kaget.
Waktu itu temen
gue Uus juga keluar sambil bawa kamera, gue masih biasa aja. Tiba-tiba Kiki
nyamperin gue dengan ekspresi keget dan bingung.
“Ja. Ada pembunuhan di gedung B!”
Mampus! Disitu
gue kaget dan bingung juga. Masa sih?! Kok bisa? Siapa yang bunuh siapa nih?!
Gue kalut dan langsung cus kabur sama Kiki menuju lokasi kejadian yang letaknya
gak jauh dari Aula.
Dan bener aja,
disana udah rame sama mahasiswa. Entah mengapa jiwa wartawan gue langsung
keluar begitu lihat suasana ramai begitu.
Gue tanya sama
mahasiswa yang disitu, dan mereka memberikan penjelasan yang masing-masing
masih ragu untuk gue percaya. Ada yang bilang ini semua karena si korban yang
mempersulit urusan skripsi si pelaku. Ada yang bilang si pelaku ini ketahuan
mesum dan pake narkoba lah. Ada yang bilang si pelaku sakit hati lah. Ah gue
puyeng waktu itu.
Gue, Kiki, Uus
dan Imada langsung pencar saat itu. Gue dan Imada ambil gambar di dalam gedung
FE tempat si pelaku diamankan massa, sementara Uus dan Kiki pindah ke sisi lain
gedung yang diduga tempat polisi mengalihkan perhatian massa.
Di dalam gedung
FE, sumpah itu pengap dan gue berasa sulit banget ambil udara. Presiden
Mahasiswa dan beberapa anggotanya sibuk melerai massa yang sempat terlibat adu
mulut sama aparat polisi. Sementara Imada diem, gue mengeluarkan jurus tubuh
gue yang kayak mie lidi ini. Gue nyelip sampai akhirnya deket banget sama
lokasi PresMa dan beberapa mahasiswa kayak lagi negoisasi gitulah.
Gak ada hasil
apapun. Gue bahkan sama sekali gak inget untuk ambil gambar, yang ada gue rekam
situasi doang! Bego kan?!
Sampai akhirnya
karena udara sendiri pengap dan gue hampir mati kehabisan nafas karena dihimpit
sama 2 polisi yang badannya gempal semua.
Gue balik ke
aula, sementara kamera gue alihkan ke Imada. Di aula sendiri gue beresin laptop
dan tas milik temen-temen gue yang juga sedang sibuk ambil gambar.
Setelahnya, gue
kembali sibuk menuju lokasi yang semakin dipadati mahasiswa yang sebenernya ada
dua kemungkinan, mereka adalah provokator dan mereka adalah manusia yang kepo.
Gue udah
memprediksi bahwa langkah gue untuk memasuki gedung FE gak akan semudah
sebelumnya. Dan bener aja, terjadilah kejadian yang sebelumnya cuma bisa gue
lihat di TV.
Beruntung banget
waktu itu gue gak bawa kamera, dan gak terpikirkan sama sekali kalo waktu itu
gue bawa HP. Masalahnya, waktu itu gue hampir mati konyol terinjak-injak
mahasiswa. Sepatu gue hampir jebol, dan kaki gue sendiri jadi bengkak esoknya
setelah hari kejadian.
Bentrok antara
mahasiswa dan aparat kepolisian pun gak terbendung lagi. Polisi dan mahasiswa
bahkan saling caci maki, gue bahkan berpikir ini siapa yang anak-anak sih?
Bahkan karena mungkin kesal, polisi sampai lempar gas air mata ke area kampus.
Alhasil gue yang beruntung gak punya asma lari gak karuan karena gak tahan sama
baunya.
Ada beberapa
kejadian konyol yang sebenernya buat gue ketawa sendiri kalau inget kejadian
itu. Ditambah juga kejadian yang masing-masing dirasakan oleh temen-temen gue.
Contohnya, waktu
gue hampir mati keinjek ratusan mahasiswa, ada yang sempet-sempetnya teriak gak
jelas dan pegang tangan gue seakan-akan gue ini kekasihnya. (Sadar kok gue
jomblo!)
“Woy make up ku luntur woy!”
“Bang! Cewek, aku Bang! Cewek!” barusan dia mengucapkan setelah jatuh terjengkang di
taman gedung saat terjadi aksi dorong-dorongan.
“Aqua! Aqua! Keripiknya kak!”
Belum lagi
ketika gas air mata dilemparkan. Uus malah mengira kami semua menangis dan
berduka atas kepergian si korban.
“US! ITU GAS AIR MATA! WAJARLAH KITA NANGIS!”
Cerita Kiki yang gak sengaja nabrak mobil,
bukan mobil yang nabrak dia, sumpah ini lucu kalo dia yang cerita. Si Risya
yang jerit-jerit dan panik laptopnya tiba-tiba udah entah kemana.
Sebenernya ada
banyak hal-hal yang gue rasakan tepat di tanggal 2 Mei kemarin. Rasa bahagia,
malu, dan sedih jadi satu saat itu juga.
Gue malu
mengingat kampus gue ternyata ada pembunuh yang membunuh hanya karena masalah
sepele. Yaelah, lo kira gue juga gak sakit hati apa sama dosen gue? Rajin
ngerjakan tugas tapi dapet nilai B, sementara yang malas dapet A. Jangankan
niat ngebunuh, niat nyantet aja gak terlaksana. (Barusan bercanda doang!)
Dan gue sedih,
melihat si korban mati sadis di tangan pembunuh gak tau diri itu. Padahal
niatnya untuk ambil wudhu. Gue memang pribadi gak dekat apalagi kenal dengan si
korban. Tapi sekejam-kejamnya si korban, si pelaku belum kenal mungkin ya sama
dosen PA gue. Dan mendengar penjelasan si pelaku mengapa bunuh si korban, duh
rasanya gue mau ketawa tapi kok miris banget ya?!
Ada banyak sisi
positif dalam kejadian itu, bukan perihal pembunuhannya kali ini. Pertama
adalah ketika gue berperan sebagai wartawan. Gue seolah merasakan inilah kali
pertama gue menjadi seorang wartawan.
Dihimpit,
dorong-dorongan, hampir mati keinjek, nyelip sana-sini, adu mulut sama petugas
keamanan, lari-larian, bahkan nangis karena gas air mata. Semua itu pertama
kalinya dalam hidup gue selama jadi wartawan kampus.
Dan untuk kalian
semua yang kurang kerjaan baca tulisan di blog gue, ini untuk kalian ya.
Sekalipun kalian tahu kampus apa, dan kasus apa yang barusan gue ceritakan
tolong diam saja. Jangan pernah pasang gambar pelaku atau korban yang dibunuh
di media sosial apapun. Bahkan, tulislah nama mereka dengan inisial. Selain
melanggar kode etik, kita juga setidaknya harus bisa membayangkan, bagaimana
jika kita adalah mereka (pelaku atau korban). Selain malu apalagi yang bisa
kalian rasakan?
Biarlah aparat
kepolisian yang mengurus pelaku beserta kasus ini hingga tuntas. Biarlah pihak
berwajib dan Yang Maha Kuasa saja yang menghukum si pelaku. THANKYOU!
Ah kampus itu (dalam hati kampus aku juga). Keren Fujaaa aku jadi flashback kejadian beberapa taun yg lalu. Masih inget aku?
BalasHapus